i. hanya ingin semuanya berakhir.

200 23 9
                                    

Aura bernama phantasmagoria itu terombang-ambing pada sengkang. Tatapannya gamang, kendati pendar indurasmi menggilas semesta raya. Pun dengan bintang-gemintang yang panjang lintasannya tiada batas, tak tahu di mana ambang akhirnya. Sosok yang berdiri di tengah gempita malam seiring dersik angin membelai bumi sedang berkonfrontasi dengan kalbu, meluluhlantakkan sang ekuivalen yang mulanya bertugas sebagai penengah. Sebab, keseimbangan dalam dunia kelabunya telah hancur lebur.

Tanpa sadar, rangkaian-rangkaian sebagai penimbul masalah itu saling berkonstelasi, kembali menjelma raksasa yang menghantui angan-angan. Raksasa itu terus mengikis habis akal sehatnya, memaksa untuk menyortir dua pilihan: menghancurkan atau dihancurkan.

Semestinya ia memiliki banyak aktivitas yang bisa dilakukan saat ini bersama teman-teman atau keluarga. Namun, atmanya kembali beranggapan bilamana semua teman yang dimilikinya hanyalah artifisial semata, palsu eksistensinya. Sebab ia tahu, tak ada sosok yang mampu memahami dirinya selain dirinya sendiri.

Keluarganya entah berantah, ia tak memiliki gairah untuk membicarakan mereka. Hanya saja, ia masih ingat kala keduanya sepakat untuk berpisah, dan setelah itu ia tak pernah benar-benar berusaha untuk mencari, justru memilih pergi dan menenggelamkan diri dalam pedih yang baginya abadi.

Riuh rendah jalan raya mulai terdengar samar, lantaran lengang mulai menampakkan daerah kekuasaannya. Dari gedung pencakar langit dengan ketinggian lima meter lebih ini, dia bisa menatap hiruk pikuk suasana kota.

Saat ini pukul sepuluh malam. Ayolah, beberapa menit lagi. Ia hanya perlu menunggu, menanti waktu bergulir hingga kedua ujung jarumnya bertengger pada angka sebelas tepat. Rencana ini sudah dipikirkan matang-matang, sebab berbulan-bulan sebelumnya ia ditemani duka dan sepi yang mematahkan hati.

Kini dia membenarkan, bahwa semua yang peduli tak akan pernah benar-benar peduli. Ada suatu masa kelak ia akan berusaha menutup telinga, menolak bala bantuan maupun kasih sayang yang ditunjukkan lantaran pura-pura. Mungkin inilah saatnya, karena semesta tak pernah memberi hidupnya warna, hanya corak masygul yang mengundang gundah gulana.

Pukul sebelas malam tepat. Ia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan belati-belati tajam yang sudah lama menghunus jantungnya. Dalam satu tarikan panjang, ia menghargai bagaimana hidupnya berjalan. Setidaknya untuk terakhir kalinya.

Sepi mengelilingi tubuh, mengisap jiwanya yang sesaat lagi akan terbang bersama angin malam. Ranah memberikannya kotak, menuntut untuk membuka. Saat tangannya hendak menerima, kotak dengan pita merah pekat itu tertarik lebih jauh, kali ini kembali memaksanya untuk mengejar.

Sudah waktunya, katanya.

Ia mengangguk siap. Memasang aba-aba untuk berlari, kemudian biarlah tugas angin berjalan semestinya, meluruhkan duka yang tertimbun dari dinding keputusasaan. Kemudian langkah-langkah panjangnya berlari, berupaya keras menangkap kotak yang dihadiahkan ranah.

Pada langkah-langkah terakhir sebelum dunia membuatnya lebih remuk redam, ia terhenti di persimpangan masa. Ponselnya bergetar, deringnya begitu mengganggu jika tidak lekas diterima. Begitu telpon tersambung, sosok dengan nomor anonim itu menghembuskan napas pelan.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Netranya menyapu sekitar. Ranah bersama elegi dan sepi telah menghilang tanpa jejak. Karsanya kembali bekerja. Mungkin, ... mungkin bukan hari ini waktunya. Mungkin saja ia diberi waktu untuk bertahan sedikit lebih lama.

Selesai.
Kediri, 10 September 2020.

Remuk-RedamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang