Rumah Sakit

492 74 0
                                    

"Seseorang lebih sering menyimpulkan sendiri apa yang dilihatnya."

//==//

Mobil yang dikemudikan Gus Arkan memasuki halaman rumahku. Awalnya aku meminta Gus Arkan agar menurunkanku di halte dekat rumah, tapi beliau menolak. Alasannya karena Umi yang memintanya mengantarku, maka dia harus memastikan keselamatanku sampai di rumah.

Waktu menunjukan pukul empat sore. Hujan deras yang tadi sempat turun kini sudah reda. Rumah dengan cat berwarna ungu itu terlihat sepi. Aku belum menghubungi Dafa lagi setelah chat-nya tadi pagi. Dafa juga tidak memberikan kabar kepadaku.

"Assalamualaikum."

Aku berdiri di depan pintu rumah, di sebelahku berdiri Gus Arkan. Harusnya dia sudah pulang. Tapi karena melihat rumah sepi, Gus Arkan membatalkan niatnya.

"Biar saya," sahut Gus Arkan. Aku mengangguk. Membiarkannya mengucap salam. Suaranya jelas lebih keras dibanding suara cemprengku.

Setelah tiga kali mengucap salam, tidak ada sahutan dari dalam. Aku semakin gelisah memikirkan keberadaan Dafa. Apakah dia menyusul ke rumah sakit? Tapi dengan siapa. Tidak mungkin juga dia pergi bermain saat ibu dalam kondisi sakit.

"Coba telpon," pinta Gus Arkan. Aku mengangguk. Tidak terpikir untuk melakukannya, mungkin karena terlalu gelisah.

Setelah memencet tombol 'panggil', aku menunggu dengan cemas. Dua kali panggilan membuatku semakin gelisah karena belum ada jawaban. Gus Arkan tersenyum menenangkan. Satu kali lagi, aku akan mencobanya. Tepat saat panggilan ke tiga, terdengar suara Dafa yang menyahut dari sambungan telpon.

"Dek, dimana?" tanyaku tanpa menjawab salam dari Dafa.

"Di rumah sakit. Kakak dimana?" tanya Dafa dengan semangat.

Aku menghel nafas lega. Setidaknya sudah jelas keberadaaannya, meski belum melihat kondisinya sekarang. "Di rumah, Dek. Kamu sama siapa kesananya? Bukannya tadi di rumah?"

"Dijemput Pakde Nurman, Kak. Ini baru sampai," jawabnya.

"Bude ada, Dek?"

"Ada, Kak."

"Kasihin hape-nya sama Bude, Dek."

Terdengar obrolan dari sambungan telpon. Suara yang tidak begitu jelas terdengar. Sampai akhirnya suara Bude Sri yang paling jelas.

"Halo, Roya. Ini Bude," sapa Bude Sri.

"Iya, Bude. Ibu dirawat di rumah sakit Permata?" tanyaku memastikan. Memang hanya rumah sakit itu yang paling dekat dengan rumahku.

"Iya. Mau kesini?" tanyanya.

"Iya, Bude. Di ruangan berapa ya?"

"Kenanga 4," jawab Bude Sri.

Setelah mengucap salam, aku memutus sambungan. Bergegas berjalan ke depan meninggalkan rumah. Jarak ke rumah sakit bisa ditempuh sekitar lima belas menit. Masih ada waktu untuk menunggu bus yang mengarah kesana.

"Mau jalan?" Aku menoleh kebelakang. Menyadari kebodohanku karena meninggalkan Gus Arkan yang sedari tadi menemaniku. Dia juga yang sudah berjasa mengantarku pulang.

"Eh, ada orang," kataku polos dengan memasang cengiran tanpa dosa. "Ke rumah sakit. Mau ikut?" tawarku saat melihat Gus Arkan masih diam di tempatnya.

Gus Arkan mendengus. Berjalan melewatiku yang masih berdiri menghadapnya. "Memang kamu bisa kesana sendiri?" tanyanya meremehkan. Aku langsung melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Astaghfirullah, kenapa cepat sekali waktunya. Perasaan tadi masih jam empat.

SEPASANG SANDAL (COMPLETE) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora