Tiga

978 113 29
                                    

Malam ini, ditemani semilir angin yang masuk lewat jendela, Kafka berdiri di depan mading kamarnya. Dia menatap lamat aksara yang terpampang di sana. Keberhasilan  hingga kegagalan, ia rangkai sedemikian rupa. Tertulis dengan beragam warna.

Sebentar lagi, ia akan lulus SMP. Itu artinya, Kafka harus berjuang untuk masuk SMA. Maka malam ini, Kafka menuliskan semuanya dalam secarik kertas putih.

"Banyak kegagalan yang aku dapat, namun aku pun berhasil meraih keberhasilan. Aku yakin, di SMA nanti, aku bisa menjadi yang terbaik."

Kafka terus berucap, ia pun menempelkan kertas itu di mading kecil yang ia buat.

"Kafka, makan!"

Seketika, ekspresi Kafka berubah. Senyumnya luntur, tergantikan raut masam. Ya, bagaimana tidak? Dia tengah melayang bersama mimpi dan harapannya. Tapi, tiba-tiba suara cempreng milik kakak perempuannya, terdengar dan menghamburkan puing-puing khayal yang tengah ia rangkai.

"Kafka, buru makan!"

Lagi, suara itu terdengar. Mau tidak mau, Kafka harus mengakhiri khayalannya. Dia pun menyimpan pulpen yang tengah digenggam dan langsung menjawab teriakan kakaknya itu.

"Iya, Teh."

Kafka menghela napas, ia pun bergegas ke luar kamar. Sebelum suara cempreng milik Sri, terdengar lagi.

Di dapur, terlihat menu makanan sederhana yang tampak menggiurkan. Ya, di sana hanya ada tempe, tahu, lalaban, sambal terasi, dan ikan asin. Tapi, itu selalu menjadi makanan ternikmat yang Kafka rasakan.

Kafka mendudukan dirinya di atas tikar, ia pun memperhatikan Sri yang tengah mengipasi nasi.

"Fikri mana, Kaf?" tanya Sri.

"Gak tahu, Teh. Mungkin di kamar Ibu."

"Panggil dulu, tapi jangan teriak-teriak! Nisa lagi tidur."

Kafka mengangguk, ia pun kembali berdiri menuju kamar orang tuanya. Ya, tak ada Rani maupun Hamdan, mereka masih bekerja dan biasanya akan pulang jam sembilan malam.

Kafka membuka pintu kamar itu dengan sangat pelan karena tidak mau mengusik lelap si bungsu. Hingga netranya menangkap kehadiran Fikri yang sedang berkutat dengan buku gambarnya.

"Fik, makan dulu, yuk!"

Fikri berbalik, hingga netranya bertemu dengan manik berbeda warna milik Kafka. Berbeda warna? Ya, Kafka memiliki iris mata yang berbeda; Kiri berwarna cokelat dan kanan berwarna  hitam legam.

"Abang, lihat dulu gambar aku!"

Kafka akhirnya mendekat, ia memperhatikan gambar yang dibuat oleh adiknya. Sebuah gambar sosok superhero yang terlihat tengah mengacungkan senjatanya. Gambar itu cukup rapi untuk ukuran anak kelas dua SD, Kafka pun tersenyum bangga.

"Bagus, gak, Bang?"

"Bagus. Semakin hari, gambar kamu semakin bagus, Fik."

Fikri tersenyum, merasa sangat puas dengan pujian yang diberikan kakaknya itu.

"Besok, aku mau buat Naruto."

"Waaaw, keren itu, Fik!"

"He'em. Tapi, buku gambarnya habis, Bang."

Kafka tersenyum, ia pun mengusap kepala Fikri dengan lembut.

"Besok, Abang belikan lagi."

"Horeeee!!" teriak Fikri, senang.

Kafka yang mendengar itu, langsung menempelkan jari telunjuknya di bibir.

"Ssstttt! Nanti, Nisa bangun. Jangan berisik!"

Rubik √Where stories live. Discover now