|| HP 27

234 57 42
                                    

HAPPY READING


"Jadi Arjuna itu Abangnya Kak Pangeran yang udah meninggal?"

Pangeran mengangguk mengiyakan. Saat ini keduanya sedang duduk di taman rumah sakit. Niatnya mereka ingin langsung pulang, tapi ntah kenapa seolah ada yang menariknya, Putri berjalan ke taman tersebut dimana banyak orang-orang yang memiliki nasib sama seperti Rinjani. Diantaranya ada yang sedang berjalan santai, ada juga yang bermain bersama suster.

"Waktu itu gue baru masuk SMA," ujar Pangeran sambil menatap lurus ke depan. Memperhatikan seorang suster yang sedang menyuapi pasiennya.

"Gue pengen bisa naik mobil terus gue minta Bang Juna ajarin gue. Gue seneng karena bisa belajar nyetir mobil. Gue kira setelah itu kita langsung pulang karena Papa bilang jangan lama-lama tapi ternyata Bang Juna malah ngajak minum. Gue nolak dan nggak ikutan minum, Bang Juna emang cuma minum sedikit dan gue nggak curiga kalo dia bakal mabuk. Tapi gue salah, di perjalanan pulang kita kecelakaan dan kejadian itu ngambil nyawa Bang Juna karena dia terluka parah." Pangeran melanjutkan ceritanya.

Ntah dirinya sadar atau tidak ketika mengatakan ini. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah, ia ingin bercerita kepada gadis itu. Ia merasa bahwa ia tidak perlu menutupi hal tersebut karena gadis itu juga sudah tau kondisi Mamanya. Putri menyimak cerita Pangeran dengan baik tanpa memotongnya.

"Waktu tau kalau Bang Juna nggak bisa di selamatin, orang tua gue tentu kecewa. Hampir dua minggu Mama belum bisa nerima kenyataan kalau Bang Juna udah meninggal. Gue pikir itu wajar karena Mama kehilangan anaknya. Tapi lagi-lagi gue salah, Mama kena depresi berat akibat kejadian itu. Dia nggak bisa nerima kalau anak kesayangannya udah nggak ada, sampai sekarang Mama terus nganggep kalau gue adalah Arjuna." Tatapan Pangeran kosong namun ia tidak menangis. Seolah hal itu sudah mampu ia hadapi.

"Tante Rinjani... "

"Mama benci gue. Papa juga." Pangeran menertawakan dirinya sendiri.

Kedua mata Putri berkaca-kaca. Ia tidak bisa membayangkan seberat apa hidup Pangeran selama ini. Hidup di selimuti perasaan bersalah adalah hal paling buruk.

"Gue hampir kehilangan jiwa gue satu tahun ini, tapi ada satu orang yang bikin gue untuk tetep semangat."

"Siapa?" Putri ingin tahu.

"Aurora."

Putri terdiam. Mungkinkah Pangeran marah kepadanya tempo hari karena sebenarnya cowok itu hanya khawatir kepada adiknya?

"Semenjak Mama sakit dan terpaksa harus di bawa ke tempat ini. Papa semakin nggak suka sama gue, bahkan dia ngasih jarak antara gue sama Aurora karena takut dia bakal kenapa-kenapa kalo deket gue." Air mata Pangeran lolos tanpa bisa dicegah. Tapi dengan cepat cowok itu menghapusnya menggunakan telapak tangan.

"Pantes Aurora selalu ngeluh kesepian," gumam Putri. Kehilangan sosok kakak dan peran Ibu di usiannya yang masih dini sudah cukup membuat anak itu terluka. Apalagi jika harus dijauhkan dengan kakak satu-satunya yang ia punya.

Pangeran terkekeh. "Lo kenapa ikut sedih? Cengeng."

"Siapa yang nggak sedih coba?!"

Raut wajah Pangeran berubah menjadi datar. "Put, jangan kasianin hidup gue setelah ini. Gue benci dipandang seperti orang yang menyedihkan."

Hello, Pangeran! [REVISI]Where stories live. Discover now