Tiga Belas [Perjumpaan yang Sama]

521 158 8
                                    

            Waktu syuting memakan waktu dua jam saja. Konsepnya, aku sedang bernyanyi di atas panggung dan memainkan gitar, kemudian di sela-sela lirik lagu yang terlupa, seorang penonton menyodorkan cokelat bertabur kacang dan karamel padaku. Lalu aku menggigitnya dengan penuh kenikmatan. Seolah-olah menyegarkan kembali pikiran, Ivanka pun kembali bernyanyi untuk menghebohkan panggung.

         Tentu aku bersyukur karena aku berada dalam kesadaranku sebagai Ivanka di jam-jam penuh keseriusan itu. Ditambah, aku punya dua orang pria yang selalu mengawasiku. Marthin duduk di belakang, di antara kru-kru yang sedang bekerja, memainkan ponselnya sekaligus mengawasiku dengan pandangan jeli. David hampir melakukan hal yang sama, hanya saja ia lebih banyak berbincang dengan produser membahas hal yang menurutnya penting.

         Begitu aku selesai dan berjalan menghampiri David, pria itu menyudahi obrolannya dan memelukku. “Hai, Ivanka-ku … kamu hebat sekali.”

         Aku tersenyum menunduk. Kalimat dukungannya barusan terdengar seperti pujian untuk orang cacat yang baru saja melakukan hal luar biasa. Mungkin ia akan begitu seterusnya, atau mungkin lama-kelamaan dia akan bosan dan melupakanku. Dalam bayang-bayang redup, aku melihat David memandangiku seolah ada harapan yang sedang digantung.

         “Ada apa, David? Apa ada masalah?” tanyaku.

         Marthin ikut menghampiri, berdiri di sampingku seperti satpam yang siap mengamankan. Kulihat, ekspresi David berubah seketika.

         “Eh … enggak, nggak ada apa-apa.” Ia memukul pundakku kemudian kembali berkata, “Hari ini kamu nggak ada jadwal lagi. Tapi Tiga hari ke depan kamu harus bisa ikut syuting video klip. Aku udah ngobrol sama mas Andra supaya scene kamu diperkecil jumlahnya. Jadi kamu bisa istirahat lebih banyak. Besok dr. Jihan datang ‘kan?”

         Aku mengangguk dengan bibir yang tergigit.

         “Ya … kamu harus semangat. Aku yakin kamu pasti bisa sembuh.” David menarikku ke dalam pelukannya. Seakan ia ingin pergi jauh, atau seakan aku yang akan pergi jauh.

         Ia pun meminta Marthin untuk mengantarku pulang. Seperti anak kecil yang penurut, aku mengikuti langkah Marthin di sampingnya. Pemuda itu menggenggam tanganku bagai orang yang takut kehilangan. Sejenak, aku memikirkan kalimat Riska tentang semua orang yang mencintaiku. Ada rasa berdesir dan bahagia ketika mereka memperlakukanku laksana orang yang sangat berarti. Semakin jauh aku mengarungi usia, semakin panjang pula tangan orang-orang yang mengasihiku.

         Marthin menjadi salah satu yang membuatku nyaman dari segi apa pun. Bahkan aku lupa tentang Zack. Beberapa hari ini aku tidak mendengar kabarnya kecuali melihat Instastory-nya yang tidak berfaedah.

         “Kita makan siang dulu, yuk?” ajak Marthin saat sedang menyetir. “Aku lapar, tadi pagi belum sarapan. Kamu juga belum makan, ‘kan?”

         “Boleh,” jawabku.

         “Emm … tempat makan yang dekat di sini apa, ya?” Marthin melongokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sebelum ia lelah untuk memutuskan akupun memberi usul.   Beberapa menit kemudian, Marthin memarkirkan mobilnya di depan Street Cafe. Kami turun hampir bersamaan kemudian mengajaknya masuk. Seperti biasa, meja nmor Delapan. Meja yang entah bagaimana caranya selalu kosong setiap kali aku datang. Seolah-olah Dany tahu aku akan menempatinya.

         Beberapa pengunjung mengedarkan pandangannya pada kami, aku mencoba untuk menahan diri agar tidak mendengar guncingan berbisik dari mulut mereka. Meski ada beberapa yang meminta berswafoto, aku menghargai. Marthin memesan menu bagai orang yang terabaikan selagi aku melayani para fans. Dany adalah satu-satunya orang yang paling bisa menguasai situasi seperti ini jika ia kedatangan artis. Ia berhasil membuat situasi kondusif hingga akhirnya privasi itu kembali padaku.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Where stories live. Discover now