36. Dia

869 74 0
                                    

Aku meringis merasakan kepalaku pusing dan berat ketika mencoba untuk bangun dari pembaringan. Lantas mataku refleks memejam berharap bisa mengurangi rasa pusing yang menyerang.

Segera kusingkirkan selimut setelah kembali membuka mata yang kemungkinan sembab disebabkan semalam aku menangis tak karuan. Entahlah ... cukup konyol, bukan? Menangisi sesuatu yang telah terjadi?

Sungguh percuma dan miris sekali.

Langkah kakiku terus melaju ke arah meja rias. Tujuanku hanya satu; ingin memastikan keadaan wajahku melalui pantulan kaca. Mata bengkak, hidung memerah. Oh, aku baru ingat perihal jam berapa aku tidur; pukul tiga dini hari.

Apa separah itukah suasana hatiku hingga susah tertidur?

"Dasar bodoh kau, Claudi. Terlihat sungguh konyol sekali menangis seperti ini," sungutku pada diriku sendiri sambil menatap pantulan diri di depan cermin.

"Sayang ...."

Suara seseorang menginterupsiku untuk segera mengalihkan pandangan. Nampaklah ayah yang mulai melangkah masuk menghampiriku yang masih berdiri mematung setelah mematut-matut penampilan berantakanku.

"Bi Sutry bilang bahwasanya Claudi sedang demam," sambung ayah seraya menempelkan punggung tangan pada keningku.

Dahiku mengernyit. Bi Sutry? Kapan Bi Sutry mengatakannya? Seingatku belum ada yang masuk ke dalam kamarku sebelum ayah pagi ini.

"Bi Sutry membangunkanmu tadi pagi, tapi rupanya Claudi masih tertidur dan mengigau. Ternyata kau demam, Sayang. Dahimu juga amat panas dari biasanya."

Aku melongo mendengar ucapan ayah. Aku sedang demam? Kenapa aku tak menyadarinya? Apa sebegitu bodohnya aku hingga merasakan perubahan kondisi tubuhku sendiri sudah tak mampu?

"Ayah, keadaanku baik-baik saja. Ayah tak perlu khawatir. Aku ingin bersiap-siap pergi ke sekolah dulu. Ayah bisa mengantarkanku bukan?"

Aku mengelak tanpa menyadari sudah pukul berapa sekarang.

"Sayang, tidak usah memaksakan diri. Ayah sudah menghubungi pihak sekolah agar mengizinkanmu untuk tidak hadir hari ini. Lagi pula sekarang sudah pukul berapa, Sayang. Claudi sudah terlambat."

Perkataan ayah sukses menghentikan aksiku yang akan mulai bergerak untuk bersiap-siap. Segera kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8.25 yang pastinya proses belajar mengajar di sekolah sudah dimulai.

Hal itu sontak membuatku mendumel-dumel dalam hati perihal tidak tepat waktu untuk tidur semalam. Alhasil, bangun kesiangan hari ini, ditambah demam yang menyerang tubuhku.

Uh!

Lengkap sudah penderitaanku.

"Non."

Sahutan Bi Sutry membuatku menoleh ke arah pintu, tak terkecuali dengan ayah. Bi Sutry berdiri dengan tangan yang memegang sebuah nampan.

"Silakan masuk, Bi. Tak usah sungkan," tegur ayah pada Bi Sutry.

"Terima kasih, Tuan."

Bi Sutry berucap sebelum mulai melangkah memasuki kamarku. Kemudian meletakkan nampan tersebut di atas meja di sebelah ranjang. Kulirik nampan yang berisi segelas air putih, semangkok bubur, dan obat yang berbentuk pil itu. Menyebabkan selera makanku langsung kandas dalam waktu sedetik. Aku hanya demam biasa namun makanannya sudah seakan aku yang takkan bisa mengunyah saja.

"Sayang, segera makan sarapanmu juga obat itu. Setelah itu langsung istirahat, oke? Ayah akan pergi ke kantor dulu. Nanti jikalau Claudi butuh sesuatu, Bi Sutry selalu di sini untukmu."

Broken Heart [Completed]Where stories live. Discover now