41. Penyelamat

787 74 0
                                    

"Jangan berani menyentuhku!"

Bentakanku malah membuat mereka semua tertawa, membuatku semakin ketakutan saja.

Bagaimana ini?

"Jangan berani membentak kami, Anak manis. Lihatlah kondisimu ... kau sedang terluka, Cantik. Mari ikut bersama kami ... dan kami akan mengobati lukamu. Iya 'kan, Bro?"

Ucapan si pemakai aksesoris berlebihan itu membuat tawa teman yang lainnya semakin menggelegar. Memanfaatkan kesempatan, aku segera berusaha berdiri lalu mulai berlari kembali.

Dengan tertatih-tatih lantaran kakiku yang terluka, aku terus berusaha kabur dari mereka. Kulihat mereka mulai menyadarinya dan kembali mengejarku.

"Aakkhh ...."

Teriakanku refleks keluar ketika tanganku berhasil ditarik oleh mereka. Membuatku terjerembab di atas tanah yang berpasir ini, semakin membuat lukaku bertambah. Kini aku sedang dikelilingi mereka, tak ada celah untuk sekadar berusaha kabur.

"Pergi dari hadapanku!"

Lontaran kalimatku membuat salah seorang dari mereka mulai marah. Lantas dia mencengkram lengan kiriku seraya kembali berucap mesum.

"Jangan berani mengusir kami, Sayang. Kau tak akan menyesal jika ikut bersama kami."

"Lepaskan aku! Jangan berani menyentuhku!"

Plak!

Perlawananku dibalas dengan tamparan keras di pipiku, begitu ngilu, membuat air mataku langsung menetes keluar. Perasaanku sudah campur aduk; sakit, takut, dan menyesal.

"Ambil tasnya," titah salah seorang yang lainnya yang segera dilakukan oleh si pemakai aksesoris berlebihan. Menyentak kasar tas yang kusandang.

Si penyuruh mengambil tasku tadi, mulai mendekat ke arahku. Lalu mencengkram daguku dengan erat seraya berujar penuh amarah.

"Kau adalah anak manis yang sungguh merepotkan. Memangnya apa yang bisa kau lakukan, huh? Meminta pertolongan pun hanya akan sia-sia. Dengan melangkah ke gang ini, itu artinya kau ingin menemui kami."

Penyesalan semakin memenuhi rongga dadaku.

Bolos sekolah?

Sungguh bodoh sekali! Amat bukan seorang Claudi!

Lebih parahnya, entah bagaimana nasibku nantinya. Dengan air mata yang terus mengalir, mataku memancarkan rasa marah juga benci secara bersamaan pada mereka.

"Cepat bawa saja dia."

Salah seorang yang lainnya mulai kembali bicara, membuat orang yang mencengkram daguku beralih menyeret paksa lenganku untuk segera berdiri. Ketika mereka hendak membawaku pergi, suara seseorang mengalihkan perhatian mereka semua ... termasuk diriku.

"Hei, sepertinya kalian telah melakukan kesalahan. Cepat lepaskan gadis itu. Dia bukanlah orang yang tepat untuk kalian."

Suara itu begitu familiar terdengar dalam indra pendengaranku. Segera kualihkan pandangan untuk memastikan dugaanku. Seketika senyum haruku langsung terbit di wajah. Menatap netra cokelat yang balik menatapku dengan tatapan seolah berkata 'semuanya akan baik-baik saja' padaku.

"Abang Rey ...."

Nada suaraku terdengar lirih. Setetes bulir bening mengalir ketika bibirku menyebut nama itu untuk pertama kalinya. Ada semacam rasa aneh yang tak bisa kujelaskan.

Prok prok prok.

Suara tepuk tangan salah satu preman ini menggelegar, memecah fokus semua orang. Semacam aksi mengejek Abang Rey.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang