1

62 9 27
                                    

"Ja!" teriakan itu sontak membuatku terperanjat kaget, sumber suara yang tadi meneriakiku ternyata adalah Liza, gadis itu tengah melambai-lambaikan tangan diikuti cengiran khasnya.

"Ish, nyebelin banget sih, untung aku nggak punya riwayat penyakit jantung. Kalo punya, aku bakalan gentayangin dia satu bulan," gerutuku sambil menghentak-hentakan kaki.

"Gue yakin lo pasti abis ngomongin gue kan? Iya kan? Susah jadi cewek cantik mah banyak yang sirik mulu," celoteh Liza yang entah sejak kapan sudah berdiri tepat di sisiku.

Temanku itu memang sangat kepedean, tak ambil pusing dengan kenarsisannya, ku lanjutkan langkah menuju kelas.

Semalam, aku dan Liza memang janjian untuk datang lebih pagi hari ini, dikarenakan kami harus membersihkan kelas.

Kenapa tidak kemarin?
Maka dengan senang hati ku jawab, Liza--yang amat sangat pemalas dan keras kepala itu tidak mau piket, katanya dia sudah ditunggu oleh sang mama.

Mengabaikan Liza yang berceloteh tidak jelas, aku memandang lapangan basket yang tampak dari lantai dua ini. Berlatar langit-langit yang masih agak gelap dan udara sejuk yang menerpa saluran pernapasan.

"Kita ada tugas nggak, Za?" tanyaku pada Liza saat sampai di kelas.

Ya, biarpun dia itu narsis level jahanam, aku tidak bisa membantah bahwa dia sahabat terbaikku. Kita bersahabat sudah lama, tentunya jika sehari saja tanpa kenarsisan Liza, terasa ada yang kurang.

Liza nampak berfikir, dia lumayan rajin dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. "Gak ada perasaan," ucap Liza membuatku bernapas lega.

Setelah itu aku berjalan mendahului Liza untuk menyelesaikan piketku.

"Ja, kita kedatangan murid baru loh," curhat Liza sangat antusias.

Aku hanya memutar bola malas. "Pasti cowok kan?" tanyaku, seolah hapal apa yang ada dalam pikiran Liza.

Liza memperlihatkan cengiran khasnya. "He he, tai aja lo."

"Ralat tau, bukan tai."

"Iyalah pokonya mah itu, yang penting gue bisa ketemu cogan baru," ungkapnya seraya memeluk sapu yang ia bayangkan itu adalah cogan.

Aku hanya bergidik ngeri dan segera menyelesaikan tugas piket yang sempat tertunda, dari pada harus ngedengerin si liza ngoceh.

Tak terasa jam telah menunjukan pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, dan bel sudah berbunyi lima menit yang lalu. Aku berjalan menuju kursiku yang berada di barisan kedua dari depan, lalu mendudukkan bokongku tepat di samping Karina--sahabatku yang di bilang lebih cuek dariku, Liza, Laila dan Mentari.

"Tar, emang bakalan ada anak baru di kelas kita ya?" tanyaku yang menyampingkan tubuh, memfokuskan perhatian pada Mentari.

"Denger-denger sih iya," jawab Mentari yang masih fokus dengan buku di tanganya.

Aku hanya mengangguk-angguk paham dan meronggoh buku tulis serta pulpen yang ada di dalam tas. Sampai suara decitan pintu membuat aku dan siswa lainya mengedarkan pandangan ke arah pintu tersebut. Masuklah Bu Bela-- wali kelasku, dan diikuti lelaki tampan di belakang guru berumur kepala tiga itu.

"Selamat pagi anak anak," sapa Bu Bela.

"Pagi Bu."

"Kita kedatangan teman baru di kelas ini, ayo nak kenalkan nama mu," titah Bu Bela pada pemuda yang datang bersamanya tadi.

"Perkenalkan nama saya Deo Pradipta, panggil saja  Deo, terima kasih." Sontak pandanganku bertemu dengan matanya dan dia juga menatapku sambil tersenyum, dengan cepat aku mengedarkan pandangan ke arah lain. Jantungku berpacu dengan cepat, perasaan macam apa ini.

"Silahkan duduk di samping Hastin," titah Bu Bela. "Hastin, angkat tanganmu."

Siswa bernama Hastin mengangkat tangannya ke atas. Setelah Deo menempatkan diri di sebelah Hastin, Bu Bela memulai pembelajarannya.

*****

"Ya ampun. Deo gans banget anjir," teriak  Liza tak tau malu.

"Ih, tai banget sih lo, mau gue bawa lo, Li," decak Laila yang sebal dengan tingkah Liza.

"Sirik aja lo."

Aku hanya menggeleng menyaksikan perdebatan dua perempuan di depanku ini. Apakah bisa kami selalu bersama? Aku takut jika sewaktu-waktu aku pergi dan tidak bisa bersama mereka lagi.

Entah firasatku yang terlalu takut, atau aku yang terlalu lebay?

Tapi perasaan ini seringkali menghantui, sebuah perpisahan terus saja menjadi bayangan menakutkan. Padahal, di setiap episode kehidupan selalu ada perpisahan 'kan?

Semoga saja nanti bukan mereka yang meninggalkanku, tak apa jika aku yang pergi. Mungkin meninggalkan lebih baik, mungkin rasanya tidak lebih menyakitkan dari  ditinggalkan.

"Ja," panggil Liza membuyarkan lamunanku. Ku alihkan pandangan padanya. "Apa?" jawabku.

"Ngelamunin apa sih?" tanya Liza penasaran. Teman-teman yang lain juga menatapku, seketika aku gugup menjawab. Pastinya nanti jika ku katakan, mereka akan marah.

Pernah waktu itu, ku tanyakan perihal siapa yang akan pergi dulu, mereka malah mendiamkanku selama berhari-hari. Anggapan mereka, aku ini terlalu menakutkan sesuatu hal yang belum harusnya dibahas.

"Gak kok," jawabku akhirnya. Mereka awalnya menatapku dengan tatapan menyelidik, lalu mengangguk-angguk percaya.

Huhft, aku sangat lega.

Ah, makanan di hadapanku rasanya sangat tidak menggiurkan, atau aku memang tidak lapar. Alhasil bubur ayam itu hanya ku aduk-aduk tanpa memasukkannya ke dalam mulut.

"Hai, boleh gabung kan?" Tiba-tiba suara seorang cowok menyapa indra pendengaranku. Ternyata si anak baru itu, siapa ya namanya tadi?

"Boleh," jawab Liza sangat antusias.

Pemuda itu tersenyum lalu duduk berhadapan denganku. Bukannya kepedean, tapi pandangan Deo sering kali mengarah padaku. Padahal yang mengajaknya mengobrol adalah Liza.

Karena  jengah,  akhirnya ku putuskan untuk memainkan ponsel, padahal aku sedang tidak ingin.

"Ja, ajak ngomong napa Deo-nya, kenalan mungkin," titah Laila yang sibuk memakan bubur di hadapannya.

"Iya nih, kasian cogan di anggurin. Iya nggak gan?" tanya Liza dengan mengedipkan sebelah matanya.

Sementara Deo hanya menatapku dengan senyuman kecil. Senyuman yang entah mengapa seolah membenarkan ucapan kedua temanku.

Tidak, tidak. Anak baru bernama Deo itu tidak boleh mengusik hidup yang sudah ku tata dengan baik.

"Hai boleh kenalan? Gue Deo Pradipta."

Aku hanya menatap silih berganti uluran tangan dan wajah itu, aku bingung, apa dia memiliki niat tidak baik kepadaku?

Aku membalas uluran tanganya
"Senja," jawabku singkat.

"Nama yang cantik, gue bakalan panggil lo, Anjani," katanya yang membuatku menegang. Darimana dia bisa tau nama lengkapku? Apa dia seorang cenayang? Tidak, tidak, tidak, mana mungkin.

Dia itu manusia, dan seenak jidatnya ku ganti nama seseorang menjadi cenayang.

"Anjay, gue baper masa, Lo bisa ngegembel ternyata De. Jangan-jangan lo plakboy ya? Ngaku Lo," tuduh Mentari yang sudah mengarahkan sendok yang dipegangnya ke arah Deo.

"Fakboy pinter bukan plakboy, lagian dosa loh nuduh cogan," protes Liza yang tak kalah ngegas.

"Gak masalah, Liza. Gue bukan fakboy, gue good boy," ujar Deo terlihat sangat akrab dengan teman-temanku.

Si Deo, murid baru itu sepertinya memiliki sifat yang gampang berteman. Mungkin kehadiran Deo nantinya akan menghadirkan warna baru untuk semuanya. Semoga.

Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang