Senja Anjani

316 35 0
                                    

Bisa kulihat dengan jelas,  sorot mata Dinar memperlihatkan keterkejutan bercampur kekesalan yang begitu kentara. 

Bunda dan Ayah pun ikut serta dalam keterkejutan ini.  Tetapi Bunda segera memecahkan suasana aneh antara aku dan Dinar. 

"Eh,  ayo,  duduk dulu." Bunda segera membawaku duduk berhadapan dengan Dinar dan ibunya. 

"Jadi kalian sudah saling kenal?" tanya ayah Dinar. 

Aku enggan menjawab, biarkan Dinar yang menjawab.  Toh aku merasa tidak kenal akrab dengannya. Bagiku dia hanya makhluk astral yang kebetulan lewat dalam kehidupanku. 

"Dinar!" Sepertinya ayah Dinar benar-benar menunggu jawaban dari putranya itu. 

Kulihat Dinar mengangguk,  pandangannya menunduk. Ayah Dinar tersenyum bahagia. 

"Syukur kalau gitu, jadi kita tidak perlu repot-repot mendekatkan keduanya,  karena mereka sudah saling kenal," ujar ayah Dinar.

"Betul itu, Pak Ari, jadi kita tinggal menentukan tanggal pernikahan mereka atau bagaimana?"

"Ide yang Bagus," ujar Ayah Dinar,  yang baru saja ayah panggil Ari. 

"Sepertinya terlalu terburu-buru kalau mereka langsung menikah, apa tidak sebaiknya mereka perkenalan dulu,  walaupun mereka sudah saling kenal,  tapi bukan berarti mereka mengetahui kekurangan ataupun kelebihan yang pasangan mereka miliki,  kan?"

Di banding dengan Bunda,  aku tau,  Ibu Dinar lebih tidak setuju dengan ide gila ini. Bisa kulihat dari cara dia menatapku,  bahkan saat ayah Dinar bicara. 
Tapi sungguh,  aku mendukung beliau.  Karena aku pun tidak setuju dengan hubungan ini. 

"Kalau begitu,  beri mereka waktu satu bulan untuk saling mengenalkan diri lebih dalam lagi," kata Bunda membuka suara.

Aku menatap bunda, berharap bunda bisa memahamiku,  tapi sebaliknya, bunda sangat mendukung perjodohan ini.

Dengan kompak, ayah dan pak Ari mengangguk,  menyetujui saran dari bunda. Sedangkan Ibu Dinar,  dia tampak kecewa. 

***

Sepanjang jalan,  aku terdiam menatap jalan yang mulai padat karena saat ini waktunya pulang sekolah dan istirahat kerja. 

Aku tidak sendiri,  aku bersama Dinar.  Saat ini kami akan pergi ke butik bunda untuk mengukur baju, karena bunda sendirilah yang akan menjahit baju pernikahan aku dengan Dinar.

Dan hari ini pak Ari memaksa Dinar untuk bolos kuliah.  Sampai segitunya.  Aku jadi tidak enak. Dinar pun hanya terdiam,  sesekali dia menekan klakson dengan keras,  sehingga menimbulkan komentar dan kritik dari orang-orang yang berlalulalang. 

"Kenapa lo gak nolak aja?" pertanyaan Dinar membuatku menoleh.

"Apa?"

Dinar menatapku sekilas,  "perjodohan ini."

"Aku juga gak mau sama kamu, jadi jangan mengira kalau aku setuju dengan perjodohan ini," jawabku lantang. 

"Terus kenapa lo gak menolak aja?"

Aku terdiam sesaat.  "Aku gak bisa, " jawabku kemudian. 

"Bodoh!" umpat Dinar. 

"Kalau begitu, kenapa bukan kamu yang menolak?" kenapa harus aku?"

"Gue gak mau kena salah sama papah."

"Kalau begitu alasanmu sama denganku."

Aku bisa dengar helaan nafas kasar dari Dinar,  aku segera memalingkan wajahku,  menatap lagi jalan yang kami lalui. 

"Di mana butiknya?  Dari tadi kita putar-putar aja!"

"Biasakan bertanya," jawabku.  "Di depan belok kanan."

Setelah itu kami tidak bicara lagi, hingga sampai ke tempat tujuan. Dinar segera turun meninggalkanku.  Mungkin ini merupakan salah satu aksi protsenya,  tapi apa tidak salah?  Dia protes kepadaku  yang juga korban sama sepertinya. 

Klinting!

Lonceng berbunyi nyaring, Mbak Sari keluar langsung menghampiri kami.  Dia tersenyum ramah seperti biasa. 

"Yang mau fitting baju, di ukur dulu ya calon nganten," godanya. 

Aku malas untuk menanggapi Mbak Sari. "Ukur dia dulu aja,  Mbak," kataku sembari masuk ke dalam ruangan Bunda. 

Sepertinya aku butuh waktu untuk sendiri,  mencoba menenangkan pikiranku yang mumet ini. Aku mencoba mencari ide agar dapat menghindari perjodohan ini. Kalau saja calon suamiku bukan Dinar,  mungkin bisa aku pikirkan lagi tentang perjodohan ini.  Tapi,  kenyataannya...

Takdir seperti sedang mempermainkanku,  aku yang membenci Dinar,  kini harus menjalin sebuah hubungan pernikahan yang merupakan ikatan yang halal. 

Tapi apa jadinya kalau hubungan itu tidak di dasari dengan sebuah perasaan Cinta?  Justru aku sangat membenci Dinar.  Dinar yang dulu selalu menghina,  menyinyir bahkan mempermalukanku.

Andai ayah dan bunda tau,  bagaimana Putri sematawayangnya ini di perlakukan dengan calon mantu mereka. 

"Ah..  Iya,  betul!"

Seakan ada malaikat yang baru saja lewat,  ide cerlang melintas di pikiranku.  Aku akan mencoba bicara dengan ayah dan bunda tentang perilaku Dinar dulu padaku. 

Tok!  Tok!  Tok!

"Jan! Giliran kamu yang di ukur nih!"

"Iya,  Mbak!"

Aku segera keluar dari ruangan bunda.  Tampak Dinar sedang duduk di sofa sembari memainkan ponselnya.  Aku memdelik sinis.  Melihatnya seperti melihat kembaran valak. 

Aku berlalu pergi ke ruang jahit.  Tidak butuh waktu lama.  Setelah itu aku keluar.  Di sana aku tidak melihat Dinar. 

"Jani, kok calon suami kamu pergi gitu aja tanpa tunggu kamu, gak bilang apa-apa lagi," kata Mbak Dian setelah itu memasukan coklatnya ke dalam mulut. 

Aku mengerjapkan mataku.  "Di ada kelas, Mbak," jawabku sepontan. 

Bodoh,  memang bodoh aku ini,  untuk apa aku menutupi kesalahan Dinar,  padahal ini kesempatanku agar bunda tau yang sebenarnya,  secara Mbak Dian memiliki mulut yang bagaikan ember bocor,  alias comel. Dia pasti bilang sama bunda. 

Mbak Dian mengangguk. "Calon suami kamu ganteng,  ya,  Jan.  Mbak aja tersipu pas dia liat Mbak."

"Mbak mau?" tanyaku,  "ambil aja,  Mbak. Kalau perlu bawa kabur sana," ucapku membatin.

"Ah,  kalau cemburu tuh bilang.  Lagi juga mana mau calon suami kamu sama Mbak."

Aku hanya tersenyum. Cemburu,  Mbak Dian bilang? Bahkan kalau pun Dinar tidur dengan ratusan wanita sekalipun,  aku tidak akan cemburu. 

Malas menanggapi mbak Dian,  yang bicaranya kemana-mana,  aku pun memilih kembali ke ruangan Bunda. 

***

*Bersambung*















My Enemy My HusbandWhere stories live. Discover now