Cloud 29 - De Javu

35 11 4
                                    

London, Musim Gugur 2019

"Maaf, tapi lebih baik aku pergi saja."

Adrea membalikkan tubuhnya lalu langsung berjalan ke arah pintu, meninggalkan Patt Antique sambil menahan air matanya agar tidak turun lagi. Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya lagi. Jika ia tetap bertahan di ruangan itu satu menit lebih lama lagi, ia tidak tahu akan menjadi seperti apa dia sekarang. Bisa-bisanya laki-laki itu muncul di hadapannya seperti itu, berbicara dengannya seperti tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Seakan-akan usahanya untuk melanjutkan hidup setelah ditinggalkan seperti itu dianggap angin lalu oleh Levant Stone.

"Adrea!"

Langkah Adrea terhenti saat ia merasakan lengannya ditarik dari belakang. Gadis itu tidak perlu membalikkan badannya untuk tahu siapa pemilik suara yang memanggil nama dan menarik lengannya barusan. Dengan kasar dihempaskannya genggaman laki-laki itu dari lengannya, namun tidak berhasil.

"Mau apa kau ke sini?" Adrea menatap tajam kedua mata laki-laki yang ada di hadapannya itu. "Lepaskan aku."

"Rea, aku mohon," bujuk Levant Stone dengan suara yang sedikit tertahan. Seolah-olah takut kalau apa yang keluar dari mulutnya setelah ini hanya akan membuat gadis itu meninggalkannya dan semakin menyakiti hatinya. "Kumohon. Maafkan aku."

Levant Stone menarik napasnya lalu menghelanya perlahan. "Aku kira, apa yang kulakukan saat itu adalah yang terbaik untukmu."

Air mata yang sejak tadi ditahannya kini satu per satu turun membasahi wajahnya. Angin musim gugur ternyata tidak mampu membuat pelupuk matanya kering.

"Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Berikan aku kesempatan untuk ... untuk memperbaiki semuanya," rintih Levant Stone. "Aku mohon, Rea."

Adrea menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata. Ia menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghelanya sambil mengangkat kepalanya. Ditatapnya Levant Stone lekat-lekat. Pilu. Ia bisa melihat dengan jelas apa yang dirasakan laki-laki itu saat ini. Persis seperti apa yang dirasakannya saat ini. Persis seperti apa yang dirasakannya saat laki-laki itu memeluknya untuk terakhir kali. Persis seperti apa yang terlihat dari mata Levant Stone setiap kali laki-laki itu menatap dirinya.

"Kalau saja kau memilih untuk memberitahuku tentang apa yang sebenarnya terjadi dan tetap menghadapi rasa sakit itu bersamaku. Kalau saja kau lebih memilih untuk tidak melepaskanku saat aku baru saja menemukanmu empat tahun lalu," lirih Adrea. "Berapa kali pun kau meminta agar aku memaafkanmu, kau tidak akan pernah bisa menghilangkan bayangan ibumu setiap kali melihatku, Levant."

Raut wajah Levant Stone berubah. Ia melepaskan genggamannya. "Maafkan aku."

Adrea tersenyum. "Sudah terlambat, Levant Stone," kata Adrea sebelum membuka pintu taksi yang berhenti di pinggir jalan dekat mereka berdiri saat ini. "Aku tidak akan bisa memaafkanmu," katanya lalu masuk ke dalam taksi itu, meninggalkan Levant Stone yang masih tetap berdiri di tempatnya tadi.

Saat taksi yang dinaikinya itu sudah mulai melaju, ia membalikkan badannya, melihat laki-laki itu untuk terakhir kalinya, sebelum mengembalikan pandangannya kembali menghadap depan. Ia mengeluarkan ponsel lipatnya dari dalam tas. Dibukanya satu pesan yang selalu tersimpan di kotak masuknya.

Berjanjilah padaku, kau harus bahagia. Selamat tinggal.

Hapus pesan?

Untuk beberapa detik gadis itu hanya diam sambil memandangi layar ponselnya.

"Aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu, sebelum kau memaafkan dirimu sendiri," bisik Adrea Aide bersama dengan bulir-bulir air yang turun ketika ia memejamkan kedua matanya.

Midnight SunWhere stories live. Discover now