Epilog Lainnya

7.2K 1.3K 613
                                    

"Tamat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tamat."

Mungkin kalian lupa, jadi akan kuingatkan: ada seorang pria tua di sebelahku, berniat meloncat dari atas jembatan. Barusan, aku mendongeng secara singkat. Kalian mungkin membacanya sebulan penuh—boleh jadi bertahun-tahun—tetapi di sini hanya beberapa jam.

Pak Danta merenungi air sungai di bawahnya. "Jadi ... si Grey ini. Akhir cerita menggantung?"

"Mungkin." Aku mengangguk-angguk.

"Anehnya," kata si pria tua, "aku merasa familier dengan sepotong cerita itu."

Pak Danta menggulung lengan bajunya, lalu melepas kupluknya. Beliau menampakkan bekas luka lama yang tergurat di sana. "Pasca pemberontakan 30 September, aku kehilangan pekerjaan. Aku sempat jadi sopir mobil boks ... sampai aku mengalami kecelakaan."

"Begitukah?"

"Ya ... aku mengantuk, lalu menabrak tiang. Orang-orang bilang, hanya sebatas itu: kecelakaan tunggal. Anehnya ... aku sering mendapati kilasan ingatan ...."

"Déjà vu?" usulku.

"Ya. Itu. Kilas ingatan itu menampakkan bahwa aku ... menabrak seseorang. Seharusnya kami berdua mati. Kadang, pemandangan itu menghantuiku. Namun, semua orang tahu saat itu memang kecelakaan tunggal. Lucunya, kejadiannya juga dekat bandara, persis seperti di awal ceritamu ... si Grey itu menghentikan seorang pria menyeberang, katamu?"

Aku tersenyum simpul. "Kakek, tidakkah sekarang saatnya Anda pulang?"

"Kenapa tiba-tiba sopan sekali?" Pak Danta bersungut-sungut. "Aku tidak mau pulang. Rumahku sepi."

"Bagaimana dengan pulang ke istri Anda?"

"Istriku sudah—" Kalimatnya terputus. Si pria tua menyadari betapa kini tubuhnya sudah terbaring menyamping di bawah jeruji pagar pembatas jembatan. Kulitnya pucat dan bibirnya membiru, lengan dan kaki kurusnya dirapatkan seperti memeluk diri sendiri—pria tua itu mati kedinginan, keletihan, dan ... yah, ketuaan. Sementara dirinya sendiri, yang duduk di sisiku, semata proyeksi—manifestasi, apa pun kau suka menyebutnya. Si pria tua membeliakkan mata ke arahku. "Se-sejak kapan?"

"Di pertengahan ceritaku." Aku terkekeh. "Cerita ini pastilah menarik sekali sampai-sampai, dalam kematian pun Anda ingin mendengarnya."

Di seberang jalan sana, seorang wanita tua berdiri menunggu. Rambutnya memutih, tersanggul ketat, bibirnya mengerutkan senyum.

"Oh, sayangku ...." Pak Danta berkaca-kaca matanya. Dia buru-buru berdiri seolah-olah sendi-sendinya diperbaharui. Untuk terakhir kali, dia menatap tubuhnya, lalu menatapku. "Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Untuk menghentikanku," ujarnya. "Untuk membiarkanku pergi dengan cara yang lebih baik ketimbang rencanaku yang bodoh itu."

IridescentWhere stories live. Discover now