Chapter 33

137 40 6
                                    

Haken masih ingat bagaimana rapuhnya Isla ketika mereka mengucapkan salam perpisahan. Selama ini, Haken selalu merasa Isla begitu mungil dengan tubuh ramping dan pinggang kecil. Bahkan ranting pohon lebih tebal dari lengan gadis itu, membuat Haken takut membuatnya luka bila dia terlalu kasar. Namun, ketika tadi dia menggenggam kedua tangan Isla dan berjanji bahwa dia akan kembali, dia merasakan kerapuhan yang lebih dari sekadar bentuk tubuh. Air mata sebening kristal yang mengalir turun di pipi tirusnya. Mata bulat sewarna danau memantulkan sosok Haken. Hati pemuda itu terasa disayat oleh kepedihan sekaligus sebuah perasaan yang asing. Sesuatu yang ingin membuat Haken memberikan jantungnya pada Isla. Seberharga itu sosok Isla baginya, seperti nyawa dan jiwa yang tak bisa dipisahkan. Namun kali ini, Haken harus meninggalkan napas dan kehidupannya untuk kembali ke tempat di mana dia dibutuhkan.

Itu lebih sulit daripada melihat ayahnya meninggal. 

"Ini akan menjadi terakhir kalinya kau menangis, aku berjanji." 

Kata-kata terakhir yang dia ucapkan pada Isla terngiang dalam kepalanya. Gadis itu mengangguk dan Haken dengan berat hati melepaskan tangannya. Dia masih ingat betapa halus kulit putih yang tergenggam. Keinginan untuk kembali memuntir sesuatu dalam dada Haken. Rasa sakit dan pedih menjadi satu ketika dia berlari menuju desa, diikuti oleh Alex yang tidak memiliki kesulitan untuk mengikuti gerakannya. Haken mengintip pergerakan Alex dengan ekor matanya sebelum menahan napas.

Dia berhasil membawa dewa dari Dunia Kedua. Dunia yang aneh dengan berbagai macam hal yang tidak dia pahami. Langit yang berbeda. Bumi yang berbeda. Tempat di mana dia dapat bersama dengan Isla, saling menyentuh tanpa takut terluka.

Mengingat itu, Haken merasa dorongannya untuk kembali ke Dunia Kedua makin kuat.

Legenda itu benar adanya. Tempat para dewa tinggal. Haken masih tidak dapat percaya apa yang dia lihat. Dewa berambut hitam menyembuhkan lukanya, sementara Alex, demikian dewa berambut emas itu dipanggil, dapat mengubah kenyataan, menghentikan waktu dan banyak hal lainnya. Masih ada dewa lain dengan nama Gerald yang bisa mengendalikan angin dan air. Luar biasa. Haken tidak pernah berpikir alam bisa dikendalikan dengan begitu mudah.

Harapan tumbuh di dada Haken. Tidak sia-sia kedatangannya ke Dunia Kedua dan tidak sia-sia dia kembali membawa seorang dewa. Kali ini, baik suku Haka maupun Shui pasti mendengarnya.

Dia hanya berdoa pada roh nenek moyang, semoga dia datang tepat waktu.

Sayang harapan Haken luntur seiring mendekati desa. Langit sudah berubah menjadi oranye. Bintang-bintang bersembunyi sementara cericip burung membangunkan alam. Desa yang seharusnya mulai sibuk dengan kegiatan, tampak sepi. Jalanan kosong. Rumah-rumah tampak ditinggalkan. Hanya ada para perempuan yang sibuk merawat para korban wabah atau melakukan kegiatan sehari-hari. Sepanjang mata memandang Haken tidak menemukan seorang pria pun.

Haken berhenti dengan napas terengah. Dia dan Alex berlari tanpa henti dari bagian tenggara hutan, tempat di mana jembatan dua dunia, hingga ke desa. Namun, sang dewa tampak baik-baik saja. Haken makin mengetahui perbedaan mereka.

"Mereka sudah berangkat," gumam Alex seakan membaca pikiran Haken. 

Haken tidak membalas. Dia mencegat seorang wanita yang dia kenali sebagai istri dari salah satu prajurit.

"Maeka, di mana yang lain?" tanya pemuda itu tanpa basa-basi.

"Ke-ketua suku!" seru wanita berusia tiga puluh tahun itu. Dia menunduk untuk memberi hormat. "Demi roh nenek moyang! Kenan bilang kalau Anda menghilang!"

"Aku pergi untuk memanggil dewa dari Dunia Kedua." Haken menunjuk Alex, membuat si wanita ternganga. Kendi air yang dia pegang jatuh dan pecah. Dia memandangi Alex yang berpakaian aneh dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu buru-buru berlutut memberi hormat. Wajahnya menempel ke tanah.

[END] Dunia KeduaWhere stories live. Discover now