14

5.6K 1.6K 101
                                    

Perjalanan menuju Palu dilakukan dengan menumpang sebuah pesawat Hercules. Bersama dengan bantuan pemerintah dan tim lainnya. Suasana disana benar-benar membuat miris. Hampir seluruh bangunan rata dengan tanah. Akandra meletakkan ransel yang dengan terburu-buru begitu turun dari mobil yang membawanya ke tempat bertugas.

Mendekati sekaligus menyapa beberapa rekan yang tengah bekerja memasang tenda yang belum sempurna, mereka sudah tiba lebih dulu. Meski ruang untuk bekerja belum selesai benar berdiri, namun hatinya terenyuh saat melihat begitu banyak wajah-wajah penuh harap yang menanti kehadirannya. Selesai mencuci tangan ia segera bergabung dengan mereka. Ada beberapa tenda pengungsian disini. Dan ini yang terbesar karena merangkap klinik kesehatan darurat.

Beberapa anak kecil menangis di dekat orangtua mereka. ikut antri dalam barisan. Sementara rekannya sibuk bertanya tentang data dan keluhan mereka. Ini adalah sesuatu yang biasa bagi Akandra. Dengan sigap ia memeriksa satu persatu pasien. Menatap sesekali wajah yang masih terlihat ketakutan dan putus asa. Ia mengerti, bencana ini pasti sangat meninggalkan truma. Mengingat begitu banyak infrastruktur yang rusak.

Seorang anak terlihat berdiri sendirian tak jauh dari kelompok antrian menatap kedalam tenda. Sejak tadi sudah berada disana, tampaknya masih menunggu antrian sepi. Tidak tega melihat karena sudah menunggu sekian lama, ia mendekati anak tersebut.

"Kenapa berdiri disini?"

Anak laki-laki kecil itu tidak menjawab namun menunjukkan sebuah arah, yakni tenda yang paling ujung. Ia segera mengikuti, sepertinya anak tersebut bisu. Didalam tenda yang padat, tampak seorang tua yang tengah terbaring lemah. Anak itu mendekat kemudian duduk disamping sang nenek. Ada aroma tak sedap disekitarnya. Akandra merasa kalau ada bau feses yang belum dibersihkan.

"Nenek kamu?"

anak itu mengangguk.

"Namanya Ahmad dok, dia bisu. Kaki neneknya luka tertimpa kayu, belum bisa berjalan. Kami takut mengganti pakaiannya karena kata dukun urut ada tulang kakinya yang patah. Dia tidak sanggup bergeser sama sekali" Ucap salah seorang ibu yang menghampiri.

Akandra mengangguk sambil mengelus rambut merah anak itu, kemudian memeriksa kaki neneknya. Ada sedikit luka dan pembengkakan, pria itu segera meraih peralatannya. Sementara Ahmad berdiri didekatnya sambil menatap seksama. Memperhatikan bagaimana cara dokter itu membersihkan dan mengobati luka. Membalut dengan perban dan kemudian memberi obat untuk diminum.

"Tolong ibu bantu perhatikan, obat ini diminum tiga kali sehari. Besok saya akan kembali kemari untuk melihat luka nenek. Saya boleh meminta tolong untuk membantu membersihkan nenek? Kalau tubuhnya hanya dimiringkan tidak apa-apa. Sekalian ganti sarungnya."

"Saya bisa, dok." Ucap sang ibu yang terlihat cukup dekat dengan mereka. Saat bencana hubungan kekeluargaan akan terasa lebih dekat terutama bagi sesama korban.

Akandra kemudian berlutut, mensejajarkan tubuh dengan anak kecil yang masih menatapnya penuh rasa kagum tersebut. Entah kenapa, ia sudah jatuh cinta pada anak laki-laki kecil ini.

"Baik, Ahmad. Nenek kamu sudah dokter obati. Jaga nenek, ambilkan makanan dan berikan obatnya tepat waktu ya. Supaya cepat sembuh."

Ahmad mengangguk dengan cepat sambil tersenyum lebar. Kembali dokter itu mengelus rambut anak tersebut dan pamit. Namun sebelum keluar dari tenda ia menghampiri beberapa lansia yang tengah duduk dan berbaring. Menyapa satu persatu dan menanyakan keadaan kesehatan mereka. selesai semua barulah ia kembali menuju tenda yang sudah hampir selesai. Segera dokter tersebut menyapa beberapa rekan yang baru datang. berbincang bersama mereka membuat letihnya berkurang. Satu hal yang selalu diingat, ditempat seperti ini semangat dan kesehatan adalah hal yang paling wajib dijaga.

DUA JIWA/Tersedia Di Play Store.Where stories live. Discover now