Perjodohan

21 0 0
                                    

“Tidak!”

Feya melipat kedua tangan di depan dada dan menatap lurus ke depan. Ia menolak untuk menatap ayahnya—Edwin Saswija—laki-laki di masa paruh baya yang tetap terlihat tampan dan bugar. Edwin tersenyum dan bergerak mendekat, duduk di sebelah Feya. Putrinya itu bergerak menjauh sedikit.

“”Fey, dengarkan Ayah dulu sebentar, ya?” Edwin membujuk dengan lembut. “Ini bukan rencana mendadak yang baru dibicarakan kemarin. Sebenarnya kami sudah lama membicarakan dan berharap rencana ini bisa terwujud. Kita banyak berhutang budi pada mereka, Fey.”

“Ayah, kenapa aku jadi merasa seperti berada di jaman Siti Nurbaya? Dijodohkan dengan seseorang sebagai penutup hutang. Rencana itu, milik kalian, bukan keinginanku,” sergah Fey dengan nada dingin. “Aku tidak mau. Titik!”

“Fey, bukan hutang seperti itu maksud Ayah. Kau masih ingat orang  yang telah menyumbangkan ginjalnya untuk Ayah dan membuat kita bisa tetap bersama sampai saat ini? Ketika Ayah sakit, hanya ginjal Om Donny yang cocok dan dia menyumbangkan ginjalnya tanpa diminta. Itu hutang budi yang tidak akan bisa kita bayar seumur hidup, Fey.”

“A-aku ...,” Feya menelan ludah yang terasa pahit. Ingatannya membentuk sosok Donny Agriwan. Laki-laki gagah yang ramah. Usia Feya 14 tahun ketika ayahnya divonis gagal ginjal dan harus segera dioperasi—berselang satu tahun setelah ibunya meninggal. Donny mendonorkan sebelah ginjalnya dan Feya selamat dari kemungkinan menjadi yatim piatu saat belia.

Edwin menatap dinding tempat foto almarhumah Sitha—istrinya—tergantung Dia terlihat sangat cantik dan anggun, dalam balutan kebaya hijau pupus. Foto itu diambil di studio foto, setelah acara ulang tahun pernikahan mereka. Waktu itu Sitha berkeras ingin membuat foto seluruh badan sendiri. Dia bilang, supaya anak dan cucunya tidak mudah melupakan bila dirinya sudah tiada. Enam hari setelah sesi foto itu, Sitha meninggal dunia.

Feya melihat Edwin menatap foto almarhumah ibunya dengan sudut mata berair. Ia mengerang. “Ayah,  tolong jangan seperti ini lagi.”

“Ayah hanya ingin kau membuka hatimu, Fey,” sahut Edwin dengan nada sedih. “Ayah tidak ingin memaksa, tapi tidak bisakah kita mencoba berdiskusi dulu kali ini? Pertimbangkan juga pendapat dan keinginan Ayah?”

“Ayah, bukan diskusi namanya kalau sudah ada keputusan,” Feya tersenyum sinis. “Ayah menggunakan cerita itu untuk membuatku merasa bersalah dan terpojok. Itu artinya aku tidak mungkin bisa menolak lagi, atau aku akan disebut sebagai anak yang tidak tahu terimakasih dan durhaka.”

“Bukan begitu, Fey. Usiamu sudah lebih dari cukup untuk memikirkan soal pernikahan. Kau tidak bisa selamanya sendiri. Ayah tidak akan hidup selamanya dan sejujurnya, Ayah takut kelak harus meninggalkanmu sendiri.”

“Ayah, memangnya kenapa kalau aku sendiri?” sergah Feya emosi. “Aku memang tidak ingin menikah dengan siapa pun. Membayangkan ada orang asing tidur di sebelahku, berliur dan berkeringat di atas seprai dan bantal yang kucuci setiap hari, ugh. Tidak!”

“Feya!”

Airmata mulai merebak di sudut-sudut mata Feya. “Aku mohon, jangan paksa aku, Yah. Aku tidak mau menikah dengan siapa pun. Aku takut, Ayah.”

Edwin menatap Feya dengan sorot mata sama pilu. “Baiklah, Fey, kalau kau tetap berkeras. Ayah tidak akan lagi memaksamu. Ayah hanya ingin kau tahu bahwa semua ini karena Ayah mencintaimu. Ayah ingin membuat ibumu senang—ketika kami bertemu nanti, Ayah bisa memberitahukan bahwa sudah ada orang yang mencintai dan melindungimu. Namun, Ayah juga tidak ingin membuatmu membenci Ayah karena merasa dipaksa.”

“Ayah,” Feya terbata dan menghapus air di sudut mata. Perasaan bersalah yang kental membuat hatinya sakit. “A-ku, maafkan aku. Aku tidak bermaksud melukai Ayah.”

“Tidak apa-apa, Nak, bukan salahmu. Nah, Ayah harus menelepon Om Donny dan Tante Eva dulu. Mereka pasti ingin mendengar hasil pembicaraan kita.”

Edwin berbalik dan berjalan dengan bahu melorot. Feya menggigit bibir bawah, berperang dengan hati dan melawan logikanya sendiri. “A-yah,” Feya memanggil dengan suara bergetar. “Aku akan mencoba. Maksudku, mengenal orang yang dijodohkan denganku.”

Langkah Edwin berhenti di pertengahan ruang tamu. Ia berbalik dan memandang Feya dengan sorot mata tidak percaya. Putrinya itu berdiri dengan wajah menunduk menatap lantai. Ia mendekat dan memegang bahu Feya lembut. “Kau yakin?”

Tidak ada keyakinan sedikit pun dalam diri Feya. Namun, sorot mata Edwin yang sarat harapan membuat Feya merasa lemah. Ia menggeleng. “Aku tidak yakin. Namun, aku akan terus merasa bersalah kalau berkeras menolak tanpa mencoba. Rasanya tidak adil.”

“Jangan memaksakan diri, Fey. Ayah hanya ingin melihatmu bahagia dan kalau keinginan Ayah malah akan membuatmu menderita, untuk apa?”

“Mari kita ambil jalan tengah. Aku akan mencoba semampuku—mengenal dan menjajaki situasi, dan Ayah harus berjanji akan menerima apa pun keputusan akhirku nanti.”

Edwin menarik Feya ke dalam pelukan. “Ayah mengerti. Tentu saja pada akhirnya keputusan ada di tanganmu. Sekarang Ayah akan menelepon mereka untuk mengatakan bahwa kau memerlukan waktu untuk mengenal dulu putra mereka. Jadi atau tidaknya, akan kita tentukan kemudian setekah kau siap.”

Feya mengangguk. Dia melepaskan diri dari pelukan Edwin dan berjalan lunglai menuju dapur. Ia menyalakan keran air dan menekan dispenser sabun, mengeluarkan sabun cair berwarna hijau dengan aroma apel banyak-banyak di telapak tangan. Feya melihat dari sudut mata, ayahnya masuk ke dalam ruang kerja sambil bersiul-siul. Ia melihat, sebelum sampai ke pintu ruang kerja, Edwin berhenti di depan foto Sitha dan mengelus foto itu sambil tersenyum lebar. Feya menghela nafas selagi mengeringkan tangannya dengan tissue.

Feya sudah bertekad untuk tetap melajang seumur hidup. Ia menolak ide untuk berbagi hidup dengan orang lain.  Bersentuhan dengan orang asing, tidur, makan, dan melakukan semua hal bersama-sama, itu mengerikan sekali. Feya sesak nafas serta gatal-gatal ketika berada dalam lift, angkutan umum, dan toko. Ia pingsan ketika melihat seekor tikus mati tergeletak di trotoar yang dilewatinya, bahkan pernah  kejang-kejang ketika seorang tetangga tidak sengaja menyiram kakinya dengan air bekas mencuci.

Feya tahu ada yang salah dengan dirinya. Kedua orang tuanya sudah berkali-kali mencoba membawanya berobat, tapi selalu berakhir dengan tangis histeris. Akhirnya mereka menyerah dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi Feya. Feya sadar, kondisinya membuat kedua orangtuanya berada dalam kesulitan.

Feya akhirnya mendatangi seorang psikiater, meminta pertolongan atas keinginannya sendiri. Ia menceritakan bagaimana kondisi dan perasaannya dengan harapan psikiater itu bisa membantunya. Namun, dalam pertemuan kedua mereka, sang psikiater— yang kelihatan sedang kurang sehat—tiba-tiba mulai bersin di menit ke sembilan sesi hari itu. Feya langsung lari meninggalkan ruang prakteknya, kemudian mandi selama dua jam, menggosok seluruh tubuh sampai kulitnya lecet dan perih—saat sampai di rumah.

“Hari Minggu ada acara reuni di rumah Om Donny. Ayah berharap kau bersedia ikut untuk berkenalan dengan calon jodohmu,” ujar Edwin dengan senyum lebar.

Kulit Feya mulai terasa gatal.
%%%%%

Wrong Way to Love (Sudah Diterbitkan Oleh AE Publishing)Where stories live. Discover now