Bab 10

40 11 40
                                    

Rencananya gagal total. Ji-sung yang telah mempersiapkan semuanya sedetail dan seciamik mungkin, justru lupa mengecek ketersediaan bahan bakar di motornya. Ia pun berulang kali meminta maaf kepada Lam karena keteledorannya mereka harus berjalan cukup jauh. Pemuda itu yakin bahwa ia telah merusak hari Lam.

"Sudah cukup minta maafnya. Ini bukan bulan Syawal. Simpan tenagamu untuk hal yang lebih berguna."

Bahkan setelah Ji-sung memborong bahan bakar yang dibelinya secara eceran di toko kelontong pinggir jalan, tetap saja ia masih tak enak hati untuk sekadar meminta Lam naik ke motornya.

"Semua beres?"

Ji-sung mengangguk pelan. Ia belum berani menatap lawan bicaranya.

"Oke, apalagi yang kita tunggu?" cecar Lam. Tanpa diminta, ia segera naik ke atas motor.

"Lam, aku minta ...."

Lam menepuk punggung Ji-sung sekuat tenaga. "Kau ini seperti tidak mengenalku saja."

Ji-sung tersenyum sambil menahan nyeri di punggungnya. Ia berpikir bagaimana caranya untuk membayar waktu yang telah terbuang selama setengah jam dengan percuma tadi. Jawabannya hanya satu, ngebut!

"Wait, wait. Kita jadinya mau ke mana?" tukas Lam.

"Sesuai rencana. Mau Jogja atau Solo, yang mana pun aku tidak masalah."

"Aku bingung. Di antara kedua kota itu mana yang lebih banyak pilihannya?"

"Memangnya kamu mau beli apa?"

"Nanti kuberi tahu."

Ji-sung menurut terlebih setelah lam menyenderkan kepalanya di punggung pemuda itu. Pemuda itu tertegun. Ia memberi waktu kepada Lam untuk berpikir. Lima menit pasti cukup, tebaknya. Dan setengah jam pun berlalu dengan kedua orang itu masih membatu.

"Sudah ketemu mau ke mana kita?" usik Ji-sung. Setelah kehabisan bahan bakar, ia ternyata juga kehabisan kesabaran.

Lam tersentak. Rupanya ia tertidur. Beruntung Ji-sung tidak membangunkannya.

"Kita ke Jogja."

"86!"

Ji-sung menyentak motornya kuat-kuat. Lam yang tidak siap lantas memeluknya dengan erat. Diperlakukan seperti itu membuat darah muda Ji-sung naik. Semangatnya naik. Gula darahnya pun ikut naik. Akibatnya, tak sampai sepeminuman yakult, kepalanya mulai pening, perutnya mual, penglihatannya kabur. Walhasil, ia pun meminggirkan motornya ke depan warung soto.

"Kamu mau sarapan dulu?"

"Kita sudah sejauh apa? Sekarang sampai mana?" Ji-sung telah melepas helmnya. Napasnya tersengal-sengal. Lam menunjuk ke lokasi di mana mereka tadi membeli bahan bakar. Pemilik warungnya melambaikan tangan. Mengira dirinya sedang disapa oleh Lam.

Harga diri Ji-sung akan hancur jika ia terlihat lemah di hadapan Lam. Dengan sangat terpaksa, ia pun mengajak Lam untuk sarapan terlebih dahulu.

"Kau tahu, Lam, soto di sini adalah yang terbaik di tiga desa," ujar Lam begitu pesanan mereka tiba. "Aku dari tadi ingin mengajakmu sarapan dulu di sini, tetapi aku lupa mengatakannya."

"Ohh."

Ji-sung berjalan dengan mantap sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf 'v'. Penjual soto membalas dengan acungan jempol.

"Minumnya apa, Mas, Mbak?" sela penjual soto sambil menaruh dua mangkuk ke atas meja beberapa saat kemudian.

"Seperti biasa, Pak," sahut Ji-sung.

Ke BacutWhere stories live. Discover now