Complique Part II

167 31 47
                                    

"Ugh!"

Daniella dapat merasakan benda tajam itu menebus perutnya.

Zafrina terkejut karena tiba – tiba saja Danny muncul  memasang badan.

"Glad you came, darling" bisik Vivi dengan sengaja menarik pisaunya ke sisi lain perut Danny, membuat sayatan melintang tidak rapi.

Beberapa menit kemudian beberapa orang polisi merangsek masuk, Zafrina masih menopang putri sulungnya. Tangan Vivi gemetar, mau tak mau ia melepaskan pisau yang telah berlumuran darah Danny.

"Sayang, sayang liat mama nak"

Zafrina masih menutup perut Danny, menahan laju darah menggunakan kedua tangan. Selagi polisi membawa Vivianne pergi, nafas Daniella tersengal. Tubuhnya terasa sangat dingin. Kini ia tidak dapat merasakan kedua kakinya lagi. Suara – suara bising di sekitarnya juga mulai tak terdengar. Danny berusaha tetap membuka kedua mata. Tapi, ia tak sanggup melakukannya.

***

Alaric mengulurkan sebuah paper bag berisi baju ganti untuk sang ibu. Mereka berdua tersentak saat dokter keluar dari ruang gawat darurat.

"The baby" ucap sang dokter terengah – engah.

"We can not save the baby!" ulangnya membuat Zafrina maupun Alaric semakin tak mengerti.

"Save my daughter then you idiot!" bentak Zafrina, suaranya bergetar. Saat ia mengedarkan pandangan. Ia melihat Matthew mematung, sedari tadi pria itu ada di sana rupanya.

"Kamu tau Danny hamil?" tanya Zafrina, kedua matanya berair. Matthew menggeleng.

Sekarang Alaric bingung, harus menenangkan yang mana dulu di antara keduanya.

***

Zafrina, Matthew juga Alaric dengan seksama mendengarkan. Jadi, Luka tusukan pada perut Danny tidak hanya melukai bagian luar saja. Melainkan merobek rahim, juga tanpa sengaja membunuh janin yang baru berusia 5 minggu di dalamnya. Kemungkinan Danny akan susah untuk mengandung karena luka ini cukup serius.

"Dari segi medis, terlihat tidak mungkin untuk kembali mengandung. Tapi, dari sisi hamba Tuhan. Mukjizat dapat terjadi kapan saja. Jadi, tidak ada yang tidak mungkin. Saya turut berduka cita" dokter itu meraih bahu Matthew dan ijin pamit dari ruangan.

"Kak" panggil Alaric begitu menyadari Danny sedang menghapus air matanya setelah ikut mendengarkan.

Matthew terdiam, membiarkan tangis Danny pecah dalam pelukan sang ibu. Alaric meminta Matthew untuk ikut bersamanya keluar ruangan. Namun, ia tak mengikuti Alaric. Melainkan pergi ke suatu tempat di mana sang ayah juga adiknya berada saat ini.

***

Matthew menatap sosok perempuan paruh baya yang kini sudah memakai seragam tahanan. Mereka berdua belum bertukar kalimat, masih enggan menemui satu sama lain dengan keadaan seperti ini.

"She is with child, right?"

Matthew akhirnya menggebrak meja, air matanya berlinang. Tak percaya jika ibunya sudah tahu.

"Kalo mama tahu, kenapa mama nggak berhenti?!" tanya Matthew, suaranya memenuhi ruangan. Membuat sipir yang berjaga di sudut sedikit waspada jika Matthew akan mengamuk.

***

Beberapa jam sebelumnya

Vivi berniat menebus obat di apotik setelah mengantongi resep untuk mengatasi insomnianya. Langkahnya terhenti saat mengenali sosok berpakaian casual keluar dari ruangan yang tak jauh dari hadapannya. Wajah gadis itu terlihat sumringah, pipinya bersemu merah muda. Tangannya terangkat mengelus bagian perut yang tampak biasa saja. Vivi menoleh, membaca sebuah gelar lalu nama dokter pada papan. Tampaknya Danny baru saja menemui seorang Ginekolog.

*Ginekolog adalah dokter dalam menangani kesehatan wanita secara keseluruhan, terutama pada kesehatan reproduksi wanita.

Jadi, wanita itu hamil anak Matthew?

Vivi sendiri tak kuasa menahan rasa bersalahnya, ia tidak pernah tahu jika perbuatannya akan berdampak seperti ini. Apalagi setelah mendengar penjelasan Matthew jika Danny kemungkinan tidak akan bisa mengandung lagi karena rahimnya juga terluka. Tak peduli sebanyak apapun kata maaf yang keluar dari bibir Vivi, sepilu apapun tangis ibunya. Matthew tetap membisu dan meninggalkan sang ibu. Ia tak menghiraukan panggilan Marvin ataupun sang ayah. Ia hanya ingin bertemu Daniella. Walaupun ada kemungkinan gadis itu akan menolaknya.

***

Matt sempat heran kenapa Zafrina sama sekali tak menunjukkan amarah barang secuil pun padanya. Ia malah memberi Matt pelukan hangat, mengusap kedua sisi wajah Matthew dan berkata semuanya akan baik – baik saja.

Saat membuka pintu, ia mendapati Danny tertidur. Kedua matanya terpejam, sesekali menampakkan raut kesakitan tiap kali bergerak. Matt menempatkan sebuah kursi di samping tempat tidur kekasihnya. Berusaha tidak membuat gaduh, lalu meraih tangan Daniella. Terasa sangat dingin, apalagi selang infus yang menempel di sana membuat hati Matthew perih. Ia ingin sekali menangis, meminta maaf pada Danny. Namun, Matt hanya bisa menelan kesedihannya.

"Uuh" Danny mengaduh pelan saat berusaha memiringkan tubuh.

Rasa sakit itu membuatnya terjaga, saat pandangannya bertemu dengan Matt. Tak ada yang Danny lakukan kecuali tersenyum. Justru senyuman Danny meruntuhkan segala pertahanan Matthew.

"I am sorry"

"I am sorry Al"

"I am sorry, I couldn't protect you"

Dannypun tak mampu berkata – kata, hatinya juga hancur.

"Aku baru mau ngasi tau mas, kalo kita bentar lagi bakalan jadi ... "

Kalimat Daniella terhenti. Bibirnya kelu sekali saat ingin mengucapkan kata orang tua. Bahkan, mungkin untuk selamanya Danny tak akan bisa menjadi wanita sempurna.

Mereka berdua larut dalam suasana kelabu, mencoba menguatkan satu sama lain. Walaupun keduanya tahu, jika ini tak akan mudah.

***

Setelah kejadian itu, Matthew dan Danny tak banyak bicara. Seakan hubungan mereka merenggang begitu saja atas persetujuan keduanya. Sampai pada akhirnya Daniella mengambil sebuah keputusan, meninggalkan Australia beserta orang – orang yang ia sayangi di dalamnya.

Melbourne Airport

Danny berdiri begitu mendengar pengumuman melalui megafon bandara. Matthew menatapnya lekat, tak rela membiarkan Danny pergi. Tapi, juga tak merasa pantas untuk menahannya.

"One thing that you should know mas" Danny merapikan kerah baju Matthew yang berantakan.

Kini mereka bertatapan.

"In my story, you are not the villain" Danny mengusap pipi Matthew pelan.

Danny membiarkan Matthew mengecup bibirnya untuk yang terakhir kali.

"I do love you" tutur Matthew lirih.

"You can start to love yourself more when I am gone. Tolong sampein maafku ke Prince, maaf karena aku nggak sempet pamitan ke dia ya mas. Makasi, daaah. Mas Matthew" Danny tersenyum, mengecup tapak tangan Matthew sebelum menyeret travel bagnya menjauh.

***

Matthew menemukan sebuah kotak kado berwarna biru langit di atas tempat tidurnya. Di dalam kotak itu terdapat botol parfum yang pastinya buatan Daniella. Serta secarik kartu lengkap dengan barcode. Ia mengambil smartphone dan mulai menyecan. Kemudian muncul sebuah artikel mengenai bunga Sweetpea. Matthew mulai membaca Alinea demi Alinea agar dapat menangkap pesan Danny.

When it comes to floral language, the sweetpea flower is associated with delicate pleasure, blissful pleasure, departure, goodbye, thank you for the lovely time and adieu.

(www.auntyflo.com)

"So, this is the real goodbye?" ucapnya selepas menghirup wangi parfum yang menguar saat ia menekan kepala botol parfum.

Manis, seketika membuatnya rindu pada sang perfumer alias sang pencipta parfum.

Friends Special Edition (Joo - Kyun)Where stories live. Discover now