Bab 1: The Princess of Wales

176 28 16
                                    

“Zaaam!” Suara yang lebih mirip raungan ketimbang panggilan itu memenuhi telinga. Penasaran, tapi kutahan dan memilih melanjutkan pengamatan pada batang-batang jagung di depan.

Seakan paham yang kurasakan, Pak Kus melongok pada kejadian yang memicu teriakan tidak merdu dan membahana pada pagi menjelang siang ini. Dari tempatku berjongkok, dalam jarak tidak lebih dari sepuluh meter, terlihat jelas Pak Kus tengah memandang jauh ke depan, pada sumber suara. Kertas pengamatan yang dijepitkan pada papan kayu tipis di tangan kirinya, dia arahkan ke mata, untuk menghalau silau pandangannya.

“Mami bilang, boleh metik buah sebanyak-banyaknya, tapi jangan main tanah. Bandel,” gerutu suara yang sama, dengan volume lebih rendah, tetapi masih terdengar jelas dari jarak Pak Kus berdiri. “Kotor semua jadinya, kan!”

Klasik, perkara tanah dapat membuat ribut siapa saja. Aku tidak habis pikir pada mereka yang meributkan tanah ini. Tidak terkecuali pada suara wanita yang sedang berada jauh di depanku. Kenapa memangnya dengan tanah?
Tahun ini, genap sebelas tahun aku berurusan dengan tanah. Jika dihitung sejak masuk kuliah, berarti telah lima belas tahun lamanya aku bergelut dengan tanah. Selama itu, bukan hanya hafal jenis-jenis tanah yang pernah diuraikan dosen, bahkan tanah telah memiliki makna khusus bagiku. Makna yang tidak semua orang mengerti.

Tanah mengingatkanku pada dua hal, kehidupan lalu kematian. Siapa yang meragukan tanah sebagai sumber kehidupan? Tentang kematian, tak ada yang lebih baik sebagai pengingatnya selain tanah. Manusia berasal dari tanah, dan akan kembali ke tanah.
Saat akhir pekan justru kuhabiskan bermain tanah, berikut jagung yang sudah setinggi pinggang, dengan daunnya yang membuat luka baret kulit tangan, hanya rasa syukur yang terus-menerus kudesahkan. Setidaknya, aku terbebas dari keinginan menghamburkan uang ke mal untuk belanja atau pun sekadar cuci mata.

Sekali belanja ke mal, uang setidaknya lima ratus ribu keluar dari dompet. Anggap saja setelah seharian waktu kuhabiskan mengelilingi mal, dan toko yang menghuni setiap sudutnya. Sementara setengah hari di kebun percobaan ini, aku mendapat tambahan uang lembur yang tidak seberapa, tetapi itu sama sekali tidak masalah. Beberapa jam lagi bertahan, jagung-jagung ini akan dapat tumbuh dengan baik sampai masa panen nanti. Itu lebih dari penghitungan yang sepadan, meskipun harus kutebus dengan rasa gatal cukup fatal.

“Ada masalah, Pak Kus?” tanyaku berdesis, sembari menggaruk punggung tangan tak berkesudahan. Serius, ini gatal. Sangat gatal.

Sebenarnya, perusahaan sudah menerapkan kewajiban K3 pada setiap pekerja. Walau risiko kecelakaan di kebun ini cenderung lebih kecil dibandingkan lokasi produksi, tetap saja Keselamatan, dan Kesehatan Kerja adalah utama. Untuk itu, standar keamanan yang wajib diterapkan saat harus turun ke kebun setidaknya mengenakan APD lengkap. Bagi kami pekerja pertanian, APD yang kami kenakan sederhana, hanya bot, dan sarung tangan.

Ada memang, seragam khusus ke kebun, tetapi kurang praktis. Terlalu lama untuk berganti baju sebelum, dan sesudah dari kebun. Lebih banyak seragam itu hanya menumpuk di loker. Kami, lebih memilih memakai baju kasual dari rumah untuk ke kebun. Lebih nyaman, fleksibel, dan simpel. Tidak berbeda dengan seragam ini, penggunaan sarung tangan ada kalanya juga sangat merumitkan pekerjaan, sehingga kami—lebih tepatnya aku—memilih tidak memakainya. Alhasil, saat gatal-gatal mulai melanda seluruh permukaan punggung tangan, maku hanya bisa menyengir saja.

“Sepertinya, sih, gitu,” jawab Pak Kus tidak yakin. Dia menurunkan kertas yang tadi digunakannya menghalau cahaya matahari, dan menoleh mengalihkan pandangan padaku. “Samperin gih, Day. Kamu ‘kan cewek, pasti lebih nyaman kalau tanya-tanya.”

“Ibu-ibu?” Aku melepaskan diri dari batang-batang jagung V6–V10 yang tanpa terasa tumbuh melesat cepat ke atas.

Pak Kus mengangguk. “Lebih tepatnya cewek ramping bercelana jin hitam, lengkap sepatu bot karet yang kelihatan mirip model.” Senyum Pak Kus tiba-tiba merekah genit ke arahku. Masih sambil mengamati dari jauh, dia melanjutkan, “Mungkin sedang marahin anaknya yang belepotan tanah. Mungkin tapi, ya. Siapa tahu itu bocah ponakannya, ‘kan, Day?”

Berpengaruh Tidak NyataDove le storie prendono vita. Scoprilo ora