Lembar ke tigabelas; Closure

345 115 26
                                    

For all the things i didn't do and all the love i haven't got to you, i'm sorry

-Sorry; Pamungkas

***********Hai Bulan,

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

***********
Hai Bulan,

Hari ini aku iseng pergi ke taman kampus. Bak layar proyektor, ilusimu muncul di sana—tepatnya kamu dan aku yang tengah berdiri saling berhadapan dengan pandangan nyalang dari masing - masing mata. Hari itu adalah hari di mana untuk pertama kalinya kita bertengkar, alismu berkerut kesal seperti tengah menahan luapan amarah. Sedangkan aku? Aku berdiri dengan mata yang memerah, nafasku naik turun karena selesai berteriak dengan emosi yang mencapai ubun - ubun.

Masih ku ingat dengan jelas ucapanmu hari itu. Katamu, aku tak pernah mengerti dirimu. Katamu, aku hanya bisa menuntut dan mengatur. Katamu, aku menghalangi hobimu. Katamu, aku adalah perempuan paling egois yang pernah kamu kenal.
Bulan, kala itu aku tak sanggup menjawabmu, bibirku terpaksa terkunci oleh ucapan gilamu, seketika semua citra baikmu menghilang dari kepalaku. Semua keyakinan bahwa kamu mencintaiku itu seketika berubah menjadi pemikiran;

"apakah Bulan yang mencintaiku itu hanya ilusi?"

Hari itu aku benar - benar merubah semua pandanganku padamu, bertanya - tanya pada diri sendiri "pernahkah Bulan menyukaiku?"

Bulan, bukannya aku tak mengerti ataupun tak mau mengerti, tapi aku lelah untuk selalu mengalah. Sekarang coba jelaskan padaku, apa pernah aku menghubungimu lagi setelah kamu bilang akan bersenang - senang dengan teman - temanmu? Apa pernah aku marah setelah tahu kamu keluar bersama gadis - gadis yang sama sekali tak kamu sebutkan namanya itu? Apa pernah aku mengganggumu ketika kamu bilang sedang sibuk dengan hobimu? Tidak, Bulan. Bahkan sedetikpun menahanmu pergi saja aku tidak pernah. Hari itu aku marah karena sikapmu kembali ke masa di mana kita belum memiliki hubungan—dingin dan tak acuh. Kamu tidak mengirimiku pesan jika aku tak mengirimimu lebih dulu, kamu tidak menelpon jika aku tak menghubungimu lebih dulu. Kamu selalu menolak ajakanku dengan dalih sibuk, tapi keesokannya jalan berdua dengan orang lain.

Pada awalnya, aku memiliki keyakinan untuk tidak mengalah, untuk menunggu kamu yang mengaku salah lebih dulu. Namun,  ucapanmu terus terngiang di kepalaku, menciptakan pernyataan - pernyataan bahwa akulah yang salah, dan seperti biasanya, lagi - lagi aku harus kembali menjadi pihak yang mengalah. Hampir satu minggu kamu mengabaikanku, melengos ketika berpapasan dan mengabaikan panggilan beruntun yang aku kirimkan. Kata Airin aku bodoh karena meminta maaf padamu, tapi ku pikir jika aku tak melakukan itu, kita bisa selesai begitu saja. Dulu sudah pernah ku bilang bukan? Sepertinya aku tak bisa lama - lama marah kepadamu. Seperti raja yang angkuh, kamu tidak menerima permintaan maafku—mungkin iya katamu, tapi sikapmu tidak menunjukkan seperti itu. Sikapmu menjadi lebih dingin dari biasanya, segala beda pendapat dan makian kembali saling melayang untuk minggu - minggu berikutnya. Siklus hubungan kita menjadi sangat tidak sehat, bertengkar, aku mengalah, saling memaafkan, dan bertengkar lagi. Di permulaan aku masih bisa menahan itu, bersedia kembali mengalah lagi dan lagi, karena ku pikir pertengkaran adalah proses menuju pendewasaan. Namun, ucapanmu dengan Yudha berhasil mematahkan argumenku. Seperti di lempari batu dari langit, kepalaku terasa sangat sakit dan jantungku berdenyut nyeri—bahkan sampai sekarang untuk mengingat hal itu pun hatiku masih terasa sakit.

Beberapa bulan setelah segala bentuk pertengkaran kita lalui, setelah sikap dinginmu mendominasi, aku mendengar obrolan kecilmu bersama Yudha. Hari itu aku melihatmu sedang duduk di kursi taman bersama Yudha, aku yang memang tengah mencarimu secara impulsif melangkah mendekat. Namun, celetukan Yudha berhasil membuatku berhenti mendadak dan menurunkan ponselku dari telinga kiri—mengubah niat untuk mendengarkan obrolanmu daripada menghampirimu

"Amanda telepon, nggak diangkat?" Katanya sambil menyerahkan ponselmu yang memang tengah ia pinjam. Kamu yang sepertinya sibuk mencoret - coret buku sketsa pun hanya mengedikkan bahu.

"Biarin, matiin aja"

Jujur Bulan, seperti disambar petir di siang bolong, ucapanmu berhasil membuatku berdiri kaku. Berarti selama beberapa bulan terakhir kamu memang sengaja mengabaikanku 'kan?

"Kenapa? Bukannya kemarin udah baikan?"

Kamu tak menjawab, memilih menaruh atensi penuh pada kertas sketsa yang ada di pangkuanmu.

"Pedot ae lah" (putus ajalah)

Untuk Yudha, aku benar - benar ingin melamparinya dengan batu. Namun niat itu terhenti di kepala, lagi - lagi ucapanmu berhasil membuatku terdiam, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena cinta, detak cepatku berlaku karena saking terkejutnya aku dengan pernyataanmu.

"Lak gak mergo ayu, yo wes tak putus ket ndisik. Lak tak putus, sing tak pamerne ndek arek - arek sopo?"

(Kalau nggak karena cantik, udah aku putusin dari dulu. Kalau aku putusin, yang aku pamerin ke temen - temen siapa?)

Sahutmu dengan gelak tawa di akhir kalimat. Sialnya, bukannya mengingatkanmu, Yudha malah ikut tertawa seakan ucapanmu adalah lelucon paling lucu di dunia.
 

Bulan, apakah kamu seperti ini dari dulu? Menganggap kekasihmu hanya sesuatu yang bisa kamu pamerkan? Ku pikir kamu tak sebajingan Yudha ataupun yang lain, tapi ternyata aku salah—kamu sama saja dengan mereka. Tak mau ditertawakan lebih lama lagi, aku berderap menghampirimu, melayangkan satu tamparan keras sampai - sampai kepalamu tertoleh ke samping. Masih ku ingat wajahmu kaget setengah mati, ada sarat khawatir di balik galaksi hitammu. Kala itu suara daun yang terseret angin, kata maaf dan penjelasanmu seperti dengung di tengah laut. Runguku seakan menolak untuk mendengar segala kilah yang akan kamu layangkan. Hari itu kata pisah layaknya ultimatum yang harus kita berdua patuhi. Bibirmu bergerak cepat untuk menolak, untuk pertama kalinya kamu meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Namun sayang, aku sudah terlalu muak dengan janji - janji. Janjimu serupa janji pejabat negeri, yang hanya dilayangkan untuk menarik hati dan lupa untuk ditepati. Aku sudah terlanjur sakit hati dan merasa dipandang rendah olehmu, aku sudah terlanjur muak untuk memberimu kesempatan yang kedua.

Bulan, hari itu taman kampus menjadi tempat di mana awal kita bertengkar pun tempat kita berakhir. Bulan, sejak saat itu aku mulai benci dengan taman kampus.

Bulan, biarpun tidak berakhir dengan baik, aku tetap ucapkan terima kasih untuk satu semesternya, biaya UKT dibayar setelah undangan pernikahan di terima.

Bulan, mungkin kamu bukanlah orang yang sempurna, tapi melihat sarat sesal dan maaf di balik jendela cakrawalamu, aku bisa melihat sisi baik masih tertinggal di dirimu. Bulan, jika nanti kamu sudah bertemu dengan orang yang tepat, tolong perlakukan dia dengan sebaik - baiknya.

—Aku pamit undur diri, karena duniamu dirasa sudah terlalu asing.

***********
Hello!!!

Thanks for reading!!!

Don't forget to vote and comment!!!

Byebye~

Salam manis,
Royalsjeno_

Lakuna | Moon Taeil Donde viven las historias. Descúbrelo ahora