Kesedihan Dama

1.3K 143 2
                                    

"Mas, gimana caranya buat jelasin kepergian Kyna?" Yilya menatap lekat Mas Arthur.

"Biar mas yang menjelaskan. Kamu tunggu di sini, ya, Sayang," balas Mas Arthur. Ia segera melangkahkan kaki, memasuki rumah Ki barjo.

Dama terlihat senang ketika melihat ayahnya sudah kembali. Bocah itu sangat merindukan Mas Arthur, terlebih jika selama ini, mereka sangatlah dekat. Dama segera memeluk ayahnya, melepas kerinduan sembari berceloteh ria.

"Ayah! Ayah tahu nggak, Dama udah bisa gambar pohon," ujar Dama sangat bahagia.

"Oh, ya? Dama hebat, peluk dulu!" balas Mas Arthur sembari memeluk buah hatinya kembali.

Ki Barjo tersenyum penuh arti ketika melihat kedatangan Mas Arthur. Namun, senyum tersebut seperti memberikan pertanda khusus. Entah apa yang ada di pikiran Ki Barjo.

"Dama juga punya mainan baru. Kak Kyna yang beliin. Ayah mau lihat?" Dama kembali berceloteh. Ia menunjukan mainan miliknya.

"Ayah ke sini sendiri, ya? Bunda sama Kak Kyna mana?" tanya Dama merasa heran.

Mas Arthur terdiam seketika, ia merasa bingung, penjelasan apa yang harus ia katakan agar Dama mengerti?

"Bunda ... ada di luar, Sayang," jawab Mas Arthur sembari menghambuskan napas.

"Kalau Kak Kyna?"

"Kak Kyna ...? Eum, Sayang, mau denger ayah cerita nggak?" Mas Arthur segera mengalihkan pembicaraan terlebih dahulu.

"Cerita apa, Ayah?" Dama begitu antusias.

"Gini, Sayang. Ada seorang anak hidup bahagia bersama kakaknya. Mereka selalu bersama-sama. Tapi suatu hari, anak itu harus menerima kenyataan pahit." Mas Arthur menggenggam jemari Dama.

"Kenyataan apa, Ayah?"

"Kanyataan kalau dia harus kehilangan kakaknya, Sayang. Anak itu terus menangis. Padahal, si kakak tidak pernah pergi. Ia tetap tinggal di sini." Mas Arthur membentuk hati dengan kedua tangan.

"Kasian, ya, anak itu," lirih Dama terhanyut.

"Kalau Dama jadi anak itu, apa yang akan Dama lakuin?"

Dama tampak bingung. Ia berkata, "Dama akan ... nangis, Ayah!" balas Dama dengan raut wajah yang sangat menggemaskan.

Mas Arthur tersenyum maklum. Ia mengelus pucuk kepala Dama sembari berkata, "Dama harus kuat, ya, Sayang."

"Kuat kenapa, Ayah? Kan, Dama nggak kenapa-napa." Dama tertawa renyah.

"Ikut ayah pulang, Sayang. Tapi Dama harus janji, Dama nggak boleh nangis."

"Emangnya kenapa, Ayah?"

"Dama janji dulu sama ayah."

"Iya, Dama janji."

"Ya udah, kita pulang. Nanti akan ayah jawab di rumah, ya, Sayang." Mas Arthur menarik lengan Dama.

"Mainannya gimana?" tanya Dama sembari menunjuk mainannya yang berserakan.

"Nggak papa, Sayang. Nanti kita ke sini lagi. Dama pamit dulu sama Kiki, ya."

Dama mengangguk, ia segera berpamitan dengan Ki Barjo. Setelah Dama berlari keluar ruangan, Ki Barjo menahan lengan Mas Arthur. Ia mengeratkan genggamannya sembari melontarkan tatapan sangat tajam.

"Aku tahu ini semua ulahmu, Arthur!"

"Aku tidak tahu apa-apa," balas Mas Arthur menepiskan tangan Ki Barjo.

"Bahkan nyawa anakmu menjadi taruhannya? Kukira selama ini kau akan sadar, tetapi tidak. Kau semakin parah! Kejahatanmu melebihi aku!"

"Tidak perlu mendramatisir keadaan!"

Mayat Dalam Sumur (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang