Chapter 06

6.5K 1.3K 236
                                    

Marvin, sebelumnya tidak terlalu peduli dengan konsep kematian, atau kehilangan karena ditinggalkan oleh seseorang untuk selama-lamanya. Bukan nya Marvin tidak punya perasaan, dia tentu saja pernah merasakan kehilangan dan menangis karena kehilangan. Dia menangis saat neneknya meninggal ketika ia berumur dua belas, dia bahkan menangis dua hari dua malam saat snow, anjingnya yang berwarna sehitam arang mati karena sakit.

Seiring bertambah usia Marvin jadi memiliki pandangan bahwa setiap yang hidup akhirnya akan meninggalkan dunia ini juga. Entah siapa yang lebih dulu meninggalkan siapa, tentu hanya Tuhan yang tahu.  Tapi, Marvin tidak pernah menyangka bahwa dia akan merasakan rasa kehilangan yang mendalam dan bahkan masih bisa dia rasakan sekalipun dia telah kehilangan Langit dua tahun lalu. Tentu bukan dia saja yang kehilangan sosok itu, bahkan mungkin duka nya tidak ada apa-apa dibandingkan duka para saudara Langit yang lain.

Hanya saja, Marvin masih tidak percaya kalau dia harus kehilangan Langit dengan cara yang tidak menyenangkan. Mengenang bagaimana Langit pergi hanya membuat Marvin ingin mengutuki Christian meski dia sudah sangat berusaha untuk memaafkan. 

Bicara tentang Langit rasa nya tidak akan selesai dalam satu jam, terlalu banyak hal tentang Langit yang bisa Marvin ceritakan. Tentang bagaimana teman nya yang terlihat cuek itu sebenarnya adalah manusia paling perhatian dan penuh kasih sayang yang pernah dia kenal. Langit yang selalu mengingatkan nya untuk beribadah, menelepon nya setiap minggu pagi puluhan kali dengan alasan menanyakan tugas yang dikumpul hari senin padahal Marvin tahu itu cara Langit untuk membangunkannya agar tidak terlambat ke gereja. Atau bagaimana pada suatu hari dia melihat Langit nekat menghadang sepeda motor tepat di depan gerbang sekolah hanya untuk menyelamatkan seekor anak kucing yang melintas.

Langit dengan segala cara sederhana nya untuk menunjukan perhatian pada orang-orang yang dikenalnya.

Dulu,  Marvin pernah bilang begini pada Langit dengan nada bercanda, "Pokoknya, kita harus temenan terus kayak gini sampe tua, ya, Ngit. Sampe kita punya anak-cucu. Gue mau mengenang masa muda kita berdua sama-sama."

Waktu itu Langit tidak menyahut apa-apa, hanya menatapnya aneh karena mereka masih anak SMA kenapa harus mikirin punya anak cucu?  Tapi sekarang, kenyataannya tidak akan ada Langit yang menemaninya di hari tua dan kehidupan Marvin harus tetap berjalan sembari terus mengenang sahabatnya itu.

Dering telepon di sakunya membuat Marvin yang sejenak tadi menatap foto dirinya dan Langit yang terpajang di nakas teralihkan. Nama Gama tertera di layar. Sekedar informasi, sekarang mereka bedua sudah jadi anak kuliah. Kuliah di Universitas yang sama tapi beda jurusan. Marvin memilih masuk fakultas IlKom karena ya...memang cocok untuk dia yang banyak bicara. Terlalu banyak bicara malah.

Kalau Gama...

Marvin tadinya tidak yakin dengan pilihan cowok itu. 

Fakultas Hukum. 

Kata nya Gama mau jadi Hakim, atau Jaksa atau pengacara. Tidak tahu lah, pokoknya Gama bilang dia mau menegakan hukum dan semacamnya. Sejujurnya, Marvin sedang karena Gama bisa melewati masa sulitnya setelah insiden di hari kelulusan SMA mereka itu. Meski tidak mudah. Tapi Marvin tahu Gama bisa bangkit dan seperti sekarang karena tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanan Langit. Kalau sampai itu terjadi, Marvin tidak akan segan-segan mengantar Gama ke kamar jenazah.

"Kenapa, Gam?" Marvin menjawab telepon sambil mengambil sepatunya dari lemari.

"..."

"Di rumah, lagi siap-siap." Marvin mengikat tali sepatunya dua kali. Tak lama keningnya mengerut agak dalam karena nada suara Gama yang terdengar sangat serius lalu menutup telepon kembali dan memasukannya ke dalam tas. 

Bagaskara : Begin AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang