Twenty Fifth Chapter

50 10 0
                                    

"Satu-satunya hal yang tidak kuinginkan adalah menjadi seperti Ibu."

✈✈✈

"Aku mencoba mencari tahu perihal Ayahku." Suaraku tertahan dan penuh dengan helaan napas berat. Ruangan kecil nan kedap ini terasa begitu lengang dan dipenuhi kegelapan.

"Kenapa kau mencoba mencari tahu tentang Ayahmu?" Di sela tulisannya, Bu Nur kembali menanyaiku. Lulusan Psikologi yang menjabat sebagai guru BK ini berhasil membuatku kembai mengikuti pertanyaannya dan rasanya aku tidak lagi kuat untuk menghindarinya. Setelah hari itu, Junnie yang bermulut ember sepertinya mengadukan keadaanku kepada Bu Nur.

Aku sempat membencinya karena telah melakukan hal ini padaku sekaligus tidak menyangka jika selama ini dia memperhatikanku. Namun, sebelum aku dipanggil kembali ke BK, anak-anak di kelas seperti merumorkan jika Jeremy yang mengadukan hal ini. Sampai sebelum benar-benar masuk ke ruang BK, Junnie dan Jeremy yang mendatangiku dan mengatakan jika Sammy lah yang meminta langsung pada Bu Nur.

Apapun kebenarannya, yang pasti mereka bertiga Nampak khawatir. Hanya saja nampaknya ini tidak perlu. Ini terlalu menyiksaku.

"Itu karena ... dia tidak seperti Ayahku," aku mengusap kedua lengan yang terasa begitu dingin dan merinding.

"Memangnya Ayahmu seperti apa?"

Aku menggeleng dan mengidikan bahu. Diam dalam waktu yang lama sebelum kembali melanjutkan dengan amat sangat terpaksa. "Kasar. Ringan tangan. Mabuk-mabukan ...."

"Jadi memar-memar di wajhmu selama ini karenanya?"

Dengan amat sangat berat, aku mengangguk. Mataku menyorot ke bawah dan bibir bawahku kugigit kencang.

"Jadi seperti apa Ayahmu saat ini? Yang kau maksudkan dengan seperti bukan ayahmu?"

Bahuku gemetar seketika dan napasku mulai tersendat. "Lebih parah," aku tak dapat mengira jika akan terisak secepat ini. Setelah hari itu dengan Emily, aku memilih untuk menyelidiki kebenaran tentang Ayah dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak bertemu dengan Kakakku. Setidaknya dengan begitu aku memberi jarak sebelum mengungkapkan kebenaran tentang dirinya dan tentang diriku. Tentang Ayahnya, tentang Ibuku. Tentang keluarga kami.

Bu Nur menyodorkan kotak tissue, tapi aku tak menyentuhnya. "Dia ... seperti monster."

Isakkanku semakin menjadi dan sedu-sedan napasku semakin tak terkontrol.

"Keluarkan semuanya." Bu Nur dengan sabar menungguku hingga emosiku menjadi stabil. Sepuluh menitan terbuang hanya untuk menungguku menangis.

"Aku tinggal dengan Ayah sebelum ia dan Ibu cerai waktu aku berumur tujuh tahun. Ayah orang temperamental dan Ibu keras kepala. Mereka bertengkar hampir setiap hari." Dengan mata yang berkaca-kaca, aku menatap Bu Nur dalam. "Awalnya mereka bertengkar seperti orang tua yang normal. Tidak menunjukan kepada kami kalau mereka bertengkar. Tapi waktu umur tiga tahun, mereka mulai terang-terangan bertengkar dan Ayah sering memukuli kami."

Kali ini aku mengambil tissue dan mengelap hidung. "Emily selalu melindungiku."

"Siapa Emily?"

"Dia Kakakku. Dua tahun lebih tua." Aku melanjutkan. "Waktu umur enam, Ayah pernah membakar kulitku dengan ujung putung rokoknya yang menyala dan menyekap Emily di dalam lemari. Ibu tidak tahu, tapi Ibu lebih sering diperlakukan seperti itu oleh Ayah. Waktu cerai, dia bawa Emily pergi dan kami tidak pernah bertemu."

Aku kembali tersendat. Kuusahakan menenangkan diri untuk beberapa waktu. Melirik ruangan yang terasa semakin gelap dan aku sendirian. Keberadaan Bu Nur menghilang untuk beberapa saat sebelum kemudian dia kembali terlihat duduk di depanku. Hanya saja, yang kini duduk di depanku bukanlah Bu Nur, melainkan Ibu dengan Rokok di mulutnnya dan tangan yang bersedekap. Kakinya menyilang dan dia tersenyum sinis menatapku.

Emily's Clue [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang