2. Rasa berujung Asa

257 45 25
                                    

Kalau aku update tiap hari jangan bosen ya 😊😊

Happy reading 😍😍

***
Suara azan membangunkan Aisyah dari tidurnya. Kepalanya terasa berat karena menangis semalaman. Matanya bengkak, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit karena patah hatinya.

Segera Aisyah menuju kamar mandi. Pagi ini, ada sesuatu yang harus dia bereskan daripada merasakan sakit di kepalanya. Menurutnya semua akan jelas, jika ada pertemuan. Tidak ada yang tidak mungkin, jika ada niat. Hubungan yang telah terbangun lama tidak akan dia biarkan hancur begitu saja.

Aisyah turun dari kamarnya dengan tergesa. Panggilan Ibunya tidak ia hiraukan. Dia berlari ke arah garasi, mengambil motor dan menghidupkannya dengan segera.

Maafkan aku, Bu. Untuk saat ini aku tidak bisa menjelaskan apa pun. Setelah semuanya jelas, aku akan menceritakan pada kalian apa yang sedang terjadi. Doakan aku bisa mengatasi semuanya.

Secepat keinginan hatinya mengetahui alasan Haritz, dia pun melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dahulu, Aisyah mengenal Haritz sejak sekolah menengah atas. Haritz adalah kakak kelasnya waktu itu. Ketika Aisyah baru menjadi siswa di sekolah tersebut, Haritz sudah berada pada kelas akhir.

Selang beberapa bulan kemudian, Haritz menyatakan cinta kepada Aisyah. Gayung bersambut atas rasa yang dimiliki Aisyah. Sejak awal pertemuan, sewaktu perkemahan sekolah. Dia sudah menanamkan rasa lebih kepada kakak kelasnya itu.

Perjalanan yang seharusnya ditempuh untuk mencapai rumah Haritz lebih dari setengah jam. Kini, hanya dilalui dua puluh menit saja. Secepat itu ia ingin menuntaskan rasa penasarannya. Tak peduli apa yang ia lakukan akan mencelakai dirinya sendiri.

"Bunda ... bunda ...," teriaknya. Tidak peduli keadaan masih pagi dia sudah berteriak-teriak memanggil pemilik rumah.

Tak ada sahutan dari dalam, tangannya mulai memukul gembok yang digunakan mengunci pagar. Bunyi ketukan dari gembok dan pagar besi terdengar menggema. Beberapa orang yang lewat melirik ke arahnya dengan heran.

"Bunda!" teriaknya kembali. Kesabarannya nyaris hilang, menanti jawaban seseorang yang dipanggilnya.

"Ya, sebentar!" Beberapa saat kemudian, barulah ada sahutan dari dalam rumah.

Perempuan setengah baya tergopoh keluar rumah sambil mengenakan jilbab yang belum terpasang sempurna. Tidak biasa ada tamu sepagi ini berkunjung, apalagi berteriak memanggilnya dengan keras seperti itu. Perasaan jengkel tampak jelas dia tampilkan.

"Lho, Ais!" Dia semakin terkejut mendapati calon menantunya.

"Bunda, tolong bukain pintunya! Ais, ada perlu."

"Ya, sebentar! Bunda ambil kuncinya."

"Maaf ngerepoti, Bun."

"Ya, gak apa-apa. Ada apa, Ais? Pagi sekali sudah ke sini." Tangannya sibuk membuka pagar yang masih tergembok.

"Ais, ada perlu sama Mas Haritz. Dia ada 'kan, Bun?"

"Masuk dulu! Kita bicara di dalam." Aisyah mengikuti langkah calon mertuanya itu ke dalam.

Sesampainya di dalam rumah, Aisyah segera naik ke kamar Haritz. Dia sudah tak sabar ingin menanyakan alasannya memutus sepihak hubungan mereka. Langkah kaki memburu seiring deru napasnya. Hilang sudah sopan santunnya dalam bertamu.

"Ais, tunggu! Berhenti! Rumah ini masih milik Bunda, tak sepantasnya seorang tamu masuk kamar keluarga kami." Langkahnya terhenti mendengar teriakan pemilik rumah.

Samudera Rasa (TAMAT, Tersedia Ebook Dan Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang