Dewi Bulan

102 60 62
                                    

Bianca seperti badai. Bertiup keras. Dia manusia paling manupulatif. Pada awalnya Bianca merisak siswi lain, tapi dia pandai membalik fakta dengan lidah tajamnya. Belasan siswi korban Bianca biasanya berakhir dengan dipindahkan ke kelas bawah. Bianca tersenyum dengan semua orang yang dia temui di lorong kelas, tapi Bianca malah dapat tatapan ketakutan. Bianca menahan tawa melihat ekspresi itu. Dia menarik napas, berusaha mengendalikan diri demi image baiknya. Bisa-bisa dia tidak bisa bermain biola lagi hanya karena itu.

  Cetta memegang botol susu stroberinya, berjalan beberapa meter di belakang Bianca. Sembari menyedot sedotan yang tertancap, Cetta tak henti hentinya memperhatikan gerak-gerik Bianca. Tiga bulan lalu Cetta pernah ribut besar sama Bianca. Hampir saja pertahanannya di kelas unggulan runtuh

“Cetta di mana?” Aluna bertanya ketika mendapati Cetta tidak ada di belakang mereka berempat.

“Biasa, kantin dulu,” jawab Fuschia. Dia duduk di kursinya. Aluna hanya menanggapi dengan oh singkat.

Aluna membuka buku yang dibawakan Fuschia, ada lima buku tebal yang semuanya adalah buku matematika. Dia hanyut dalam soal-soal di dalam buku itu. Fuschia memperhatikan sekeliling kelas, kelas unggulan berbeda dari kelas IPA 2 sampai IPA 14 perbedaaan yang mencolok adalah jumlah murid di kelas. Kelas unggulan hanya menerima 20 murid dan dari 20 murid hanya 15 yang mendapat kartu. Kartu ajaib yang bisa membuka akses kemana saja. Jika pemilik kartu rankingnya turun ke 16, maka kartu itu harus dikembalikan kemudian diberikan pada siswa yang rangkingnya di atas lima belas. Fuschia tidak memiliki kartu itu, sedangkan Daisy, Aluna, Cetta, Dan Naury punya di kantong seragam mereka. Seringkali mereka memamerkan bisa menghadiri acara makan malam dengan para pemilik kartu, menghadiri acara pemberian penghargaan teman, atau bahkan acara ulang tahun anak gubernur. Fuschia iri sekali. Terutama kantin menyediakan makan siang gratis khusus anak yang memiliki suncard.

  Fuschia menatap buku homework di depannya. Membuang napas berat. Mengerjakan PR saja dia sering menyerah. Dia masuk sekolah ini karena sertifikat kontes biola saat kelas 6 SD, Fuschia meragukan hal itu karena menurutnya sertifikat itu sudah lama sekali. Dan Fuschia mendengar dia dilempar ke kelas unggulan karena relasi maminya dengan pak Han. 

  “Mau ayam?” Lamunan Fuschia berhenti ketika Aluna menyodorkan kotak makan merah itu ke arahnya. Fuschia menoleh ke kanan, meggeleng. Fuschia yakin sekali Aluna sangat lapar.

   Aluna menaruh kotak makan itu ke meja, menatap papan tulis di depan. Buku-buku di atas mejanya masih terbuka. “Aku sudah kenyang.”

   “Lo jangan terlalu keras sama diri lo sendiri. Lo harus makan, oke!’’

  Naury duduk tepat di belakang Fuschia ikut berkomentar. “Aluna sama Daisy bakal ikut olimpiade matematika bulan depan, ya?”

  Aluna mengangguk, Daisy yang duduk di belakangnya menatap Naury. Pikirannya sama seperti Aluna. "Tapi olimpiade tingkat nasional kali ini hanya mengirim satu perwakilan di setiap level kelas, dan satu orang itu, aku.”

  Daisy menatap Aluna yang tersenyum percaya diri. Tangannya meremas rok kotak-kotak kremnya hingga meninggalkan jejak kusut. Sampai Aluna menatapnya sambil tersenyum miring, anting bentuk bulan yang mengayun di telinga Aluna sungguh mengganggu Daisy, ia mudah terganggu dengan hal kecil. “Benar, kan Daisy?” Tatapan Aluna seakan meremehkan Daisy. 

 Naury menyesal sudah bertanya hal demikian. Padahal dia tahu sendiri bagaimana persaingan mereka berdua sejak SMP. Jika Daisy mendapat nilai lebih besar dari Aluna, Aluna akan tiba-tiba berlari ke perputakaan dan berlatih soal sepanjang hari berharap dengan itu Aluna tidak akan melakukan kesalahan yang sama di ujian selanjutnya. Jika sebaliknya, Daisy akan marah dengan diri-sendiri, menjambak rambut, meremas rok dan menggertakkan gigi-giginya. Naury, gadis berponi itu sudah mengenal Daisy sejak lama, tapi tidak punya asumsi sesuatu apa yang membuat Daisy seperti itu? Karena sepanjang waktu mengenal Daisy dan menganggapnya sebagai sahabat, Daisy tidak pernah mau mengajak ke rumahnya yang didengar-dengar rumah paling besar di Jakarta Pusat ini. 

Sunflowers In The Grass (tamat) Where stories live. Discover now