[empat--c]

11.9K 1.5K 155
                                    

Praya masih berkelindan dalam kebuntuan. Wanita itu duduk terdiam di balik bayang cahaya redup dari sebuah lampu kap, di kamar yang terpisah dengan Bagas. Pakaiannya telah mengering di badan, karena ia belum juga menggantinya sejak tadi.

Pikirannya berkecamuk oleh perkataan Bagas yang begitu menyakitkan. Serupa tertoreh tajamnya sembilu yang menyakiti hatinya. Air mata Praya sejak tadi mengalir tanpa henti, dengan isak tangis yang hampir serupa bisikan.

"Aku hanya mau kamu tahu, kalau selama ini kamu nggak berarti apa-apa buat aku."

Praya semakin merasa tidak berguna sama sekali. Ia tenggelam dalam ketidakpuasan Bagas akan dirinya sebagai pendamping hidup. Tidak pernah ada penghargaan yang layak untuknya. Namun sebagian dirinya masih memerlukan pernikahan ini demi Tara dan Salwa.

Ia terlalu lelah untuk menangisi kemalangan hidupnya. Ia pernah berada di antara titik hidup dan mati, saat berniat mengakhiri nyawanya setelah kematian Lavi. Pada saat itu ia berpikir kalau semuanya akan mudah bila ia ikut mati. Segala beban dosa yang menghimpit akan terlepas seiring embusan napas terakhirnya.

Praya sudah bersiap mengiris nadi di pergelangan tangan dan berharap akan segera memeluk bayi mungilnya di alam sana. Namun, sebuah suara berhasil menariknya dari pusaran kekalutan.

"Bunda ... aku mau makan."

Pisau yang dipegangnya langsung terjatuh. Suara Tara menyelamatkannya. Praya kembali tersadar kalau kedua buah hatinya yang lain masih memerlukan sosok ibu. Saat itu ia langsung menghambur ke arah Tara dan memeluknya.

Tara juga yang menjadi alasan Praya mempertahankan kehamilan. Memang Praya sempat panik sekaligus ketakutan mengetahui dirinya hamil di luar nikah. Akan tetapi, tak pernah terlintas di dalam pikirannya untuk melenyapkan janin tanpa dosa itu. Ia sama sekali tidak menyalahkan Tara atas apa yang telah terjadi pada hidupnya.

Beberapa jam kemudian, Praya baru ke kamarnya. Di sana Bagas sedang duduk di tempat tidur sambil tertunduk melihat layar ponsel. Suaminya itu sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari benda tersebut. Kehadiran Praya di dalam kamar ini seperti angin lalu saja. Bahkan saat Praya melepas kacamata dan meletakkannya di atas nakas, yang begitu dekat dengan posisi Bagas pun, lelaki itu tetap tak mau mengangkat kepalanya.

Praya masuk ke kamar mandi. Ia melepas pakaiannya dan berdiri di dalam shower stall. Bulir-bulir air yang jatuh di atas kepala, ia resapi sebagai pembersihan segala hal yang sudah terjadi hari ini. Ia ingin menutup masalah dengan Bagas. Melupakan kalau Bagas hari ini telah menambah luka di hatinya. Dan berpikir kalau rumah tangganya akan baik-baik saja, meski ia harus hancur sendirian. Ia melakukan ini demi anak-anaknya.

Selesai mandi, ia mematut diri di cermin. Matanya sembap. Wajahnya yang tanpa rona,  begitu kentara menunjukkan jejak kelelahan psikis. Tak ada binar bahagia di matanya. Semua kebahagiaan yang dulu ada di dalam dirinya telah hilang dan membentuk wujud baru berupa rasa sakit berkepanjangan.

Sekali lagi ia merapal mantra penguatnya dalam hati.

Aku pasti bisa bertahan.

•••

Mobil yang dikemudikan Bagas berhenti di area halaman sebuah rumah berasiktektur lama yang cukup besar. Praya segera membuka pintu mobil, diikuti Bagas yang berjalan di belakangnya menuju teras rumah.

Praya memencet bel rumah. Cukup satu kali dan muncul seorang wanita paruh baya membukakan pintu.

"Eh ... Mbak Praya dan Mas Bagas sudah datang." Ratmi menjabat tangan keduanya bergantian. Wanita yang sudah bekerja di rumah ini sejak Praya masih kecil, tampak semringah dengan kedatangan anak serta menantu majikannya.

Praya dan Bagas melangkah masuk, melewati ruang tamu yang berkesan kuno. Mulai dari warna dinding hingga perabotan serba antik yang menjadi pajangan.

"Ibu lagi di belakang. Lagi lihat Tara dan Mas Pijar tangkap ikan." Ratmi menjelaskan tanpa perlu ditanya.

Mas Pijar?

Mendengar nama itu disebut, Praya seketika berhenti melangkah. Bagas pun menoleh karena Praya tertinggal di belakangnya. Sedikit heran ketika dia melihat perubahan ekspresi sang istri.

"Ada apa?" tanya Bagas.

Praya lekas menggeleng. "Nggak ada apa-apa," kilahnya lalu menyusul Ratmi yang sudah berjalan lebih dulu.

"Mas Pijar datang kapan, Bi?" tanya Praya.

"Lho, memangnya Ibu nggak kasih tahu Mbak?" Wanita berbadan kurus itu balik bertanya.

Praya menggeleng. Ia juga heran kenapa ibunya tidak memberitahu soal kedatangan laki-laki itu.

"Kok, bisa nggak tahu. Padahal sudah dari seminggu yang lalu Mas Pijar ada di rumah."

Kabar tersebut tentu membuat Praya penasaran, karena orang yang ia kenal ini sudah lama menjauh dari hidupnya. Terakhir ia bertemu Pijar saat sang ayah meninggal dua belas tahun yang lalu. Pun kalau lelaki itu sedang berada di Indonesia, sama sekali tak pernah menghubunginya.

"Mbak Praya pasti kangen. Mas Pijar juga, kok, ya, betah banget gitu tinggal lama-lama di Belanda," beber Ratmi yang kemudian menggeser pintu kayu jati berornamen rangkaian bunga di hadapannya. Pintu itulah yang menghubungkan bagian dalam rumah dengan halaman belakang.

"Bu, Mbak Praya dan Mas Bagas sudah datang," ujar Ratmi pada seorang wanita yang sedang duduk bersama Salwa.

Arini tersenyum melihat kehadiran mereka berdua. Salwa yang sedang asyik menonton konten K-Pop di Youtube, hanya melirik sekilas pada kedua orang tuanya. Gadis remaja itu sedang tak mau berbagi perhatian dari layar tabletnya.

Setelah mencium tangan ibunya, Praya menarik kursi yang ada di sebelah wanita itu. Ia lalu duduk sembari melempar pandangan ke arah kolam ikan yang sudah surut airnya. Di sana Tara sedang menangkap ikan bersama dua orang laki-laki. Salah satunya merupakan pekerja di rumah ini, sedangkan seorang lagi adalah sosok penting yang dulu pernah ada dalam hidup Praya.

"Ibu kenapa nggak bilang kalau ada Mas Pijar?" tanya Praya.

"Pijar yang minta Ibu untuk nggak perlu kasih kabar ke kamu. Mungkin dia mau kasih kejutan," terang Arini lalu meminta Ratmi membuatkan minuman untuk Praya dan Bagas.

Wanita yang rambutnya belum memutih sempurna itu berkata lagi, "Pijar bilang sama Ibu, kalau dia mau tinggal lama di Indonesia."

"Memangnya Mas Pijar nggak akan kembali ke Belanda, Bu?" Praya sangat penasaran.

"Ibu belum tahu pastinya dia mau benar-benar pindah atau hanya sementara saja di Indonesia. Tapi Ibu lebih senang kalau dia tetap tinggal di sini. Kamu juga pasti senang, kan?"

Senang? batinnya malah bertanya.

Praya lantas hanya memberi anggukan lemah sebagai tanggapan pertanyaan ibunya, lalu kembali menaruh perhatian pada Tara yang begitu antusias menjaring ikan.

Ia tadinya sedikit berharap kalau Bagas juga ikut turun ke kolam. Tentu akan lebih menyenangkan bagi Tara melakukan kegiatan tersebut bersama ayahnya. Namun sepertinya Bagas tidak tertarik.

Dan hati Praya tiba-tiba menghangat begitu pandangannya bersinggungan dengan Pijar. Lelaki itu ternyata baru menyadari kehadiran dirinya di sini.

•••☆•••

Siapa Pijar? Punya hubungan apa dengan Praya?

Di part selanjutnya kita kenalan sama Mas Pijar ya ❤

Jangan lupa beri VOTE biar makin semangat menulisnya ❤

Yang belum follow jangan lupa difollow hehe

Terima kasih ❤

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Where stories live. Discover now