BAB 12

9 1 0
                                    

Di kamis pagi yang cerah, Mamanya Elang sibuk melakulan panggilan telepon dengan seseorang. Panggilan pertama, sang Mama keluar dari dapur dan duduk di meja makan.

Setelah sepuluh menit bercakap dengan laqan bicaranya di seberang telepon, Mama kembali berdiri dan masuk ke kamar. Tak lama kedmudian, sembari melakukan panggilan baru, Mama mengambik sebuab tablod dan membukanya lembar demi lembar.

Senyum hangat menghiasi wajah anggun yang memancarkan aura seorang Ibu yang tengah berbahagia.

Elang yang masih berdiri di tengah-tengah anak tangga dengan rambut yang masih berantakan serta mata setengah terbuka, berjalan menghampiri Mamanya yang terdengar semangat ketika membahas kertas dan tema.

Elang yang belum tahu tentang apa yang sedang dibicarakan sang Mama terus fokus berjalan sambil mengumpulkan kembali kesadarannya setelah bangun tidur.

Dituangkannya air putih ke dalam gelas, lalu Elang meminimnya sambil menghampiri Mama.

"Mama lagi ngapain?" tanya Elang sembari meletakkan gelas yang masih terisi setengah di atas meja.

"Eh, Elang, kebetulan sekali kamu sudah bangun. Sini, kamu bantuin Mama milih," ajak Mama.

Dengan kantuk yang masih tersisa, Elang menghampiri Mama dan mengambil posisi duduk sebelah Mamanya.  Elang menengok beberapa kertas yang tertata rapi di atas meja.

Elang hanya melihat Mamanya yang begitu sibuk dengan beberapa contoh undangan yang sedang tersusun rapi di atas meja.

Elang masih belum mengerti dan mengambil satu c
Undangan werwarna goald.

"Mama mau apakan semua undangan ini?"

Tersenyum, Mama menatap sang anak dengan sedikit kerilngan di mata.

"Sepertinya, kemarin ada yang mohon-mohon restu sama Mama. Jadi, gimana? Jadi nggaj minta restunya?" jeda sebentar, tawa Wlang merekah saat teringat maksud dari sang Mama.

"Jadi, Mama milih undangan untuk Elang dan Rania?"

Dengan senyum antusias Mama mengangguk.

Akhirnya, Elang ikut melihat beberapa model lain dari undangan. Ada rasa bahagia dan haru dalam hati Elang meihat sang Mama yang sempat meragukan dan nyaris menolak keputusannya, terlihat begitu semangat dan antusias mengurus segala persiaoan pernikahannya dengan Rania.

Tapi, Elang terlupa akan sesuatu. Dia dan Rania sama sekali belum membahas apa pun untuk pernikaham mereka. Rencananya, Elang dan Rania akan bertemu hari ini dan membahas semua keperluan wedding mereka.

"Tapi, Ma ... Elang belum membicarakan apa pun dengan Rania tentang pernikahan kita,".sanggah Elang.

"Mama sudah urus semuanya. Gedung, tanggal, katering, baju, dan juga konsep pernikahan kalian sudah selesai Mama urus. Hanya tinggal undangan saja, Mama masih bingung untuk memilih mana yang bagus."

"Bukankah kita perlu membicarakan ini semua dengan Rania? Elang hanya takut Rania tidak setuju dengan pilihan kita." jeda sebentar, Mama menatap Elang dengan kerutan di dahi.

Elang yang merasa perkataannya sedikit mengusik hati Mama, segera meralat kembali kalimatnya.

"Ma-maaf, Ma. Maksud Elang, bukankah akan kebih baik kita membicarakan segala sesutaunya bersama Rania juga? Elang dan Rania tidak bermaksud meragukan pilihan Mama hanya saja, Elang tidak mau merepotkan Mama," jelas Elang sembari memeberikan tatapan pengertian pada sang Mama.

"Memangya sejak kapan Mama merasa direpotkan? Putra Mama satu-satunya akan segera memulai hidup baru sebagai seorang imam. Mama hanya merasa bahagia dan bersyukur karena kamu akhirnya menemukan pendamping hidup seperti Rania. Mama tahu dia gadis baik." Elang tersenyum saat tepukan lembut mendarat di bahunya dan melihat senyum lembut di wajah sang Mama.

RANIAWhere stories live. Discover now