12. Rahasia.

842 171 39
                                    

Mau kayak author lain ah. 🤭

100 vote lebih, aku update hari ini juga. 😌

***

Karena kejadian ini, mau tak mau Yuki pulang lebih cepat dari yang lainnya. Profesor Danurdara memastikan Yuki tetap akan mendapat nilai untuk semester ini, jadi dia tidak perlu cemas. Aurora kembali ke tempat kemping dengan kendaraan lain untuk mengemas barang-barang Yuki dan kakaknya. Raphael tidak ingin meninggalkan Yuki dengan kondisinya yang sekarang, karena itu dia memutuskan untuk pulang bersama gadis itu. Yuki duduk di kursi penumpang dengan gelisah, Raphael yang mengendalikan kemudi menyadari kegelisahan gadisnya.

"Kamu kenapa?" Raphael meletakkan tangannya di atas tangan Yuki yang saling menggenggam di pangkuan.

"Aku kayaknya nggak bisa pulang. Kalau Bunda melihat kondisi aku sekarang, dia bisa syok." Yuki memang baik-baik saja, tapi luka di kakinya membuat Yuki sedikit kesulitan saat berjalan. "Setidaknya aku harus bisa jalan normal di depan Bunda."

"Masih ada waktu dua hari, kamu pergi ke tempat lain?" tanya Raphael.

"Iya, tapi aku nggak tahu harus pergi ke mana." Yuki tidak punya teman yang bisa ditumpangi sementara waktu.

Raphael kemudian memikirkan sesuatu. "Aku tahu kamu harus ke mana." Ucapnya, kemudian memutar setir mobil menuju ke sebuah tempat.

Itu daerah kaum Elite tinggal, terdiri dari gedung-gedung tinggi dan rumah-rumah mewah. Raphael menghentikan mobil pinjaman itu di basment sebuah gedung. Yuki hanya mengikuti saat Raphael menuntunnya memasuki gedung tersebut, lelaki itu menggunakan kartu hitam mengkilap untuk membuka lift. Tanpa menekan tombol lift itu seketika mengantar mereka ke lantai sembilan belas.

Pada lantai tersebut, ketika pintu lift terbuka. Yuki melihat sebuah pintu lagi yang terbuat dari kayu jati hitam, yang di baliknya terdapat ruangan luas dengan fasilitas lengkap. Dapur modern, dua kamar tidur, kolam renang pribadi, tempat olah tubuh dan beberapa yang lainnya.

"Kamu bisa tinggal di sini sementara waktu, sampai kamu siap pulang." Raphael membawa Yuki duduk di sofa ruang tamu. Warnanya didominasi putih gading dan kuning yang lembut, samar-samar tercium aroma segar seperti buah dan bunga.

"Apartemen ini punya kamu?" tanya Yuki, matanya menatap sekeliling.

"Hadiah dari Papa. Dulu aku pikir tempat ini nggak akan berguna." Raphael bersimpuh di depan Yuki. "Kita lihat luka kamu, udah waktunya ganti perban." Ucapnya sambil membongkar tas miliknya, ada beberapa obat yang harus Yuki minum agar lukanya cepat kering. Raphael menyiapkan perban dan lain sebagainya dengan cekatan.

"Tahan sedikit." Raphael dengan hati-hati melepas perban di kedua kaki Yuki, dia akan mengelus kaki itu lembut setiap Yuki medesis kesakitan. Dalam waktu singkat perban baru sudah membungkus kaki Yuki lagi.

"Terima kasih." Ucap Yuki saat Raphael membereskan peralatan mengobati. "Aku berhutang sama kamu."

"Artinya kamu akan membayar ini suatu saat nanti, dengan apa?" Raphael menghujam Yuki dengan mata birunya yang tajam.

"Kamu maunya apa? Aku miskin, jadi tolong jangan minta uang." Yuki menatapnya sungguh-sungguh dengan matanya yang polos.

"Aku mau kamu." Yuki memandangnya tak mengerti, Raphael hanya memberinya senyuman misterius. "Nanti, kalau sudah waktunya aku kasih tahu."

Raphael melihat plester lusuh di kening Yuki, dia melepasnya hingga tanda bulan sabit itu terlihat. Darah Raphael berdesir ketika melihat bulan sabit tersebut, ini adalah takdir yang mengikatnya pada Yuki. "Kalau lagi sama aku, kamu nggak perlu menutupi apa pun." Ujarnya membelai kening Yuki lalu turun ke pipinya yang lembut, sepasang mata itu terkunci satu sama lain.

RedMoon || AlphaSoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang