tujuh

1.4K 130 3
                                    


Seminggu berlalu setelah kematian Gus Arham, aku masih tetap sama. Bahkan bisa dibilang lebih parah. Hati ini sangat sulit untuk mengikhlaskan. Aku masih tetap tak percaya, jika Gus Arham dipanggil secepat ini.

Hidupku hanyalah menangis dan menangis, terkadang ku juga meraung dengan mengatakan bahwa Gus Arham masih hidup. Abi dan ummi terlihat putus asa melihat keadaanku. Terlebih ketika ku seolah berbicara dengan sosok Gus Arham, namun nyatanya tak ada.

Hingga suatu hari ku bermimpi bertemu dengannya, beliau tersenyum sambil berkata, "Ning, takdir Allah itu indah, bahkan sangat indah. Jangan pernah bersedih hanya karena takdir Allah tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Allah menguji sampean dengan takdir yang tak sesuai untuk melihat kadar keimanan sampean pada-Nya. Maka, jangan pernah jauh dari Allah sekalipun smapean terdapat pada titik terendah. Dekatilah Tuhanmu, makan Dia akan mengulurkan tangan-Nya untukmu. Satu lagi, jangan lupa untuk selalu tersenyum".

Aku pun memutuskan untuk bangkit dan fokus memperbaiki diri. Aku memilih nyantri di pondok salaf. Mungkin ini cara Allah agar aku lebih dekat lagi dengan-Nya.

Aku meninggalkan kuliahku yang sudah hampir akhir. Dua tahun lamanya ku mencoba bangkit dan menyimpan rapi kenangan masalalu.

Walau sangatlah susah melewati masa sulit semangatku untuk bangkit tak pernah pudar. Aku tak boleh lemah. Dua tahun lamanya ku memperdalam ilmu agama. Walau tak lama, setidaknya ku punya sedikit bekal untuk menata kembali hidupku.

Kemudian ku melanjutkan kuliahku yang sempat tertinggal. Satu tahun kemudian aku lulus dan bekerja hingga saat ini.

Ku matikan deru mesin motor matic ku disebuah rumah yang berada di samping mushalla itu. Para santri biasa menyebutnya ndalem. Terakhir ku berada disini tepat hari meninggalnya Gus Arham, kemudian kutak pernah lagi berkunjung.

Langkah kakiku terhenti di depan pintu coklat itu. Seketika semua kenangan masalalu kembali terngiang didepanku.

Mulai pertama kali ku berjumpa dengan Gus Arham, hingga beliau wafat. Bulir bening sudah lolos sejak tadi. Ku masih terpaku didepan pintu, sebelum akhirnya seorang santri menghampiriku.

"Maaf, apa ada yang bisa saya bantu" ucap seorang abdi dalem yang sama sekali tak ku kenali.

Mungkin abdi dalem yang ku kenal dulu, mereka sudah berhenti dan memutuskan menikah. Ku langsung tersenyum padanya sambil menghapus bulir bening yang meluncur tiba-tiba.

"Emm apa Bunyai ada?" tanyaku.

"Ohh ada mbak, tapi masih mengajar. Jika mbak berkenan menununggu silakan masuk, mbak bisa menunggu di dalam".

Aku pun mengangguk, sembari berjalan masuk lalu duduk di sebuah karpet yang bermotif indah dengan satu meja diatasnya.

Tak banyak berubah dari ruangan ini, meskipun tiga tahun sudah aku tak berkunjung.

Beberapa saat kemudian datang seorang paruh baya, yang ku ketahui sebagai juru masak ndalem sejak dulu dengan membawa sebuah nampan.

"Monggo di unjuk toyanipun" ucapnya setelah meletakkan sebuah gelas. Aku pun menatapnya dengan tersenyum.

"Ning Fira!" pekik Bu Lia tak menyangka. Aku pun langsung meraih tangannya lalu memeluknya.

"Iya Bu, ini Fira. Bagaimana kabar ibu?"

"YaAllah Ning, Alhamdulillah saya baik, Ning sendiri gimana? Kenapa setelah kejadian itu Ning tak lagi kesini? Kami disini rindu Ning, terkadang Bunyai saat sakit mengingau nama jenengan".

"Maaf Bu, saya baru sempat datang kemari. Abah sama ummi sehat semua Bu?"

"Alhamdulillah Ning sehat sedaya. Maaf saya tinggal terlebih dahulu, masih ada pekerjaan dibelakang" pamit Bu Lia.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki dari pintu luar membuat ku menoleh kearahnya.

Terlihat wanita dengan membawa kitab ditangannya terkejut saat melihatku. Aku pun beranjak meraih tangannya. Seketika ummi memelukku dengan menangis.

Wanita yang tak pernah pudar cahaya di wajahnya terus memelukku dengan erat. Menyalurkan rindu yang amat sangat.

"Ini benar kamu Fir?" tanya ummi memastikan.

"Inggih ummi, ini Zafira" ucapku yang kemudian memapahnya untuk duduk.

"Kemana kamu nduk selama ini. Bahkan saat ummi dan abah kerumahmu, orang tuamu tak pernah sekalipun memberi tahu keberadaanmu".

"maaf ummi, panjang ceritanya" ucapku sembari menunduk.

"Maafkan Arham nduk, jika dia sudah tak menepati janjinya padamu. Ternyata Allah memilik takdir lain untukmu" ucap ummi.

"Maaf ummi jika setelah kejadian itu Fira tak lagi berkunjung kesini. Kejadian itu membuat Fira sangat terpukul. Bahkan bisa hampir dibilang gangguan jiwa. Tak pernah sesuap nasipun masuk. Mungkin hanya air minum yang mampu Fira telan. Hingga sebulan berlalu pun tetap sama. Fira hanyalah seperti mayat hidup. Ummi dan Abi hampir putus asa dengan keadaan Fira. Kemudian Fira dibawa kesalah satu ponpes yang kecil dan terpencil. Kiyai disana lah yang mengobati Fira. Beliau menyadarkan Fira akan takdir Allah. Perlahan Fira mulai bangkit. Semenjak itu Fira mondok disana. Maaf ummi, jika abi dan ummi Fira tak memberi tahu keberadaan Fira. Mereka takut Fira kembali seperti dulu lagi. Selama dua tahun Fira disana. Kemudian kembali melanjutkan studi Fira yang sempat putus. Sekarang Fira sudah lulus ummi" seketika ummi memelukku kembali.

"Maafkan ummi nak, ummi tak ada disampingmu saat kau ada dalam masa sulit".

"Tidak apa ummi" ucapku tersenyum.

"Ummi sangat merindukanmu nak, kau tetaplah putri ummi walau kini sudah tak ada Arham"

"Terima kasih ummi. Ummi bolehkan Fira menginap disini?"

"Tentu saja nak".

Aku pun menginap disini hanya satu malam. Sungguh ku tak kuasa untuk terus berada disini. Disetiap ruangan mengingatkanku akan Gus Arham. Ku merasa dia benar-benar ada disekitarku.

Addawaul Qalbi [END]Where stories live. Discover now