🌟2. Si Pemilik Mata Hazel

48 11 0
                                    


Kegelapan menari-nari menebarkan kegelisahan. Aku terbangun dengan sebuah pertanyaan besar masih menggantung di pikiranku. Apa atau siapa sosok bayangan hitam yang baru saja kulihat?

Namun, segera pertanyaan itu tergantikan oleh pertanyaan lain. Di mana aku sekarang? Kupikir aku telah terbebas dari kegelapan, tetapi kenyataannya pandanganku kembali bertemu kegelapan tak berujung. Tanpa cahaya, hingga aku berpikir tak ada matahari di tempat aku berdiri, membuat dadaku terasa sesak.

"Hara! Cepat pergi!"

Aku mendengar seseorang berseru. Jelas dari suaranya aku belum lupa bahwa suara itu adalah milik Ibuku. Aku memutar tubuh, mencari-cari sosok Ibu di antara relung kegelapan yang asing.

"Ibu?" teriakku.

Menoleh ke sisi kiri, kulihat ada setitik cahaya di sana. Cahaya berwarna violet yang muncul dari tangan seseorang—tangan Ibu.

Wanita berambut hitam panjang, sepasang mata biru yang sama dengan milikku, serta wajah yang sebulan ini selalu aku rindukan. Dialah Ibuku. "Ibuuu!" teriakanku berubah menjadi isak tangis.

Semakin pecah ketika sosok Ibu meninggalkan cahaya itu dan datang menghampiriku. Segala emosi membuncah, dan seluruh kerinduan kutumpahkan dalam pelukannya.

Namun, itu hanya berlangsung beberapa detik. Ibuku melepaskan pelukannya, padahal rinduku belum terobati. Dia menatapku, sendu. Ibuku menoleh pada setitik cahaya violet yang kini telah berubah menjadi lubang besar seperti portal, sebelum meraih kedua bahuku dan akhirnya mendorong tubuhku ke arah portal itu.

Tak memiliki tenaga untuk menolak, aku hanya terus menatap wajah Ibu sambil bertanya, "Kenapa?"

Kemudian Ibuku terdengar berkata, "Belum saatnya. Lupakanlah." Hanya itu yang kudengar sebelum tubuhku tertelan oleh kegelapan dalam portal cahaya violet.

***

"Hara? Hara? Sharena Hara Sterne?"

Bersamaan dengan kudengar suara Ayah memanggil-manggil namaku, hidungku menangkap aroma mint khas minyak aromaterapi, sehingga sebuah dorongan memaksa mataku terbuka perlahan-lahan. Sial, cahaya silau apa ini?

Mataku memicing, kemudian cahaya itu seketika padam. Samar-samar, pandanganku mulai terlihat jelas, dan yang pertama kulihat adalah wajah khawatir Ayah serta sebuah senter di tangannya. Ah, pasti benda itu yang tadi menyorotku. Entah ini ide Ayah atau bukan, tapi cara itu sukses membuat kepalaku berputar-putar.

Kepalaku makin pening ketika aku memaksa tubuhku yang tertidur di atas ranjang untuk duduk.

"Kalau masih pusing, jangan dipaksakan duduk," saran Ayah.

Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, kok."

"Baiklah." Kecemasan di wajah Ayah mengendur. "Hara, Ayah lega kau sudah sadar. Tadi kau pingsan hampir satu jam."

"Eh?" Aku menaikkan alis. "Sa—satu jam?" tanggapku, syok. "Lama sekali."

"Iya. Kau ingat apa penyebabnya?"

Terdiam, sejujurnya ini bukan pingsan pertama bagiku yang memiliki riwayat anemia. Tetapi, pingsan kali ini berbeda. Selain merupakan pingsan terlamaku, berbeda dengan pingsan yang sudah-sudah, kali ini aku juga tidak bisa ingat apa yang terjadi kepadaku sampai aku pingsan. Hal terakhir yang kuingat adalah melihat bintang.

"Ahhh," desahan refleks keluar dari sela bibirku saat tiba-tiba mendapati rasa sakit di bagian belakang kepala. Kunaikkan tangan, meraba bagian belakang tempurung kepalaku. "Benjol?"

"Hara, apa itu berdarah?" tanya Ayah panik.

Aku memeriksa telapak tangan, dan menggeleng kepada Ayah. Lagi-lagi membuat kecemasan di wajah Ayah berkurang.

Ai ajuns la finalul capitolelor publicate.

⏰ Ultima actualizare: Oct 16, 2021 ⏰

Adaugă această povestire la Biblioteca ta pentru a primi notificări despre capitolele noi!

When the Shadows FallUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum