Part 35. Coffee

8.8K 1.3K 607
                                    

Jam menunjukkan pukul tiga lebih empat puluh enam menit—dini hari ketika suara nyaring dari ponsel gadis itu berbunyi. Sepertinya lupa untuk mengubah ke mode silent sebelum nyenyak ke peraduan di bawah purnama.

Sementara di belahan benua lain, seorang pria mengenakan piyama berpegang pada terali besi balkon hotel, berhadapan langsung dengan menara Eiffel yang menjulang tinggi dihiasi kelap kelip lampu, tengah mengusak rambutnya frustasi.

Tak biasanya ia diabaikan.

Gadisnya bukanlah seorang yang mudah merajuk atau mempermasalahkan hal kecil. Tak mungkin pula marah tanpa alasan. Memorinya mencoba menilik dan mundur beberapa waktu ke belakang. Dirasa tak ada yang salah—tak ada yang kurang.

Jika ia pergi tanpa pamit, itu hal yang biasa. Jika ia tak bisa memberi kabar berhari-hari, itu hal yang biasa. Jika ia hanya sesekali bisa bersapa, itu hal yang biasa. Jika ia tiba-tiba muncul setelah kembali, itu hal yang biasa.

Sekarang ia sedang punya waktu dan tak peduli perbedaan waktu, biasanya gadis itu akan selalu menyambut dirinya. Tempatnya untuk pulang sekalipun ia melangkah begitu jauh, selalu.

Park Jimin masih berusaha menerka sambil menduga-duga apa yang terjadi. Jarak yang jauh menjadi penyebab utama tangan tak bisa segera bertaut, bibir tak bisa bertanya.

Mumpung ia ada waktu, mumpung ia bisa memberi kabar karena bagaimanapun ia begitu rindu. Nyaris tak bisa menahan lagi, jemarinya lantas mencari nama yang ia kira bisa membantu.

Kim Taehyung.

Sekali ia menekan tombol hijau di layar ponsel dan merasa lega ketika terdengar dering menandakan panggilannya masuk. Detik berlalu namun tak kunjung ada jawaban. Sebenarnya wajar mengingat perbedaan waktu Paris dan Seoul berjarak delapan jam. Seoul delapan jam lebih cepat yang artinya sekarang masih dinihari dan sewajarnya semua orang sedang terlelap.

Tetapi Jimin mengabaikan itu. Rindunya kian menumpuk dan rasa cemas tak bisa ia abaikan begitu saja. Tak peduli pula jika sahabatnya akan marah karena diganggu, yang jelas ia hanya ingin mengetahui keadaan gadisnya dan meminta penjelasan akan panggilannya yang tidak mendapat respon, sejak ia mengirimkan pesan tadi siang.

Entah kali keberapa Jimin menekan tombol hijau sambil sesekali menoleh was was ke belakang—memastikan istrinya masih berada di kamar mandi.

"Taehyung—" Refleks bibirnya berteriak lebih lantang kala dirasa panggilannya akhirnya mendapat respon. Lega sekali seperti mendapat tetesan air di tengah gurun.

Tak ada suara kecuali nafas dan deheman serak yang ia yakin sekali sebab pria itu baru kembali dari alam bawah sadarnya. "Tae—ini aku, Jimin."

"Sialan! Aku tidak buta atau amnesia. Kau tidak tau sekarang di Seoul jam berapa? Dasar pengganggu!" Suara serak dan berat memenuhi alat canggih yang melekat di daun telinga. Wajar bersikap seperti cranky pada anak kecil karena tidurnya terganggu. Jimin mengerti.

"Iya, maaf mengganggu, Tae. Tapi—boleh minta tolong. Kekasihku—maksudku, Nara tidak membalas pesanku sejak siang. Biasanya dia tidak bersikap demikian. Apa dia sedang sibuk, atau ada masalah? Tolong, bro. Bantu aku, minta dia menghubungiku."

Tak ada respon dari sebelah kecuali suara nafas yang Jimin tahu sekali bahwa Taehyung mungkin entah merasa kesal—atau mengantuk—atau malas, tetapi meski tak enak hati, Jimin ingin mengesampingkan itu sekarang.

"Tae—"

"Kau tau betapa bajingannya dirimu, Park Jimin! Kau sedang bersama istrimu dan malah mencari perempuan lain. Berapa kali kukatakan, aku membantu membiarkannya untuk tinggal di tempatku bukan berarti aku mendukung kalian. Itu hanya atas nama kemanusiaan. Meski kau sahabatku tapi kuharap kau tau diri untuk hal ini. Aku tak ingin terlibat dalam masalah perselingkuhanmu. Urus sendiri!"

THE CHOICE✔Where stories live. Discover now