B R O K E

35 8 1
                                    

     "Kamu mau cerai sama Raina?" tanya ayah Patra sembari mengangguk-anggukan kepalanya sok mengerti setelah mendengar permintaan berat anak tunggalnya. "Hm ... jangan bilang lagi bercanda kamu, Pat."

"Astagfirullah, Yah, gak boleh su'udzon. Patra serius, kok." Patra memasang wajah serius andalannya, namun cowok itu masih tenang duduk di kursinya.

"Apa alasannya? Raina anak baik-baik, kok. Ayah milih dia buat kamu gak sembarangan milih, loh. Keluarga kami juga berteman baik.”

"Ayah, coba deh, Ayah inget-inget. Keluarga Raina punya anak kembar atau enggak?"

Kemudian, ayah Patra tampak sedang mengingat-ingat. "Iya, Raina dan Raini kalau gak salah. Emang kenapa?"

"Sebenarnya Ayah jodohin Patra sama Raini atau Raina?"

Tak jauh dari mereka, bunda Patra sedari tadi memperhatikan perdebatan suami dan anaknya dari tangga. Tadinya wanita itu hendak pergi ke dapur, namun malah mendengar pembicaraan anaknya yang tiba-tiba meminta cerai.

"Dua-duanya," jawab ayah Patra kemudian. Membuat Patra mendecak dan menggeleng-geleng kepala tak habis pikir dengan ayahnya.

Saat itu juga, bunda Patra muncul dari persembunyiannya. Wanita itu mendekati Patra dan memeluk anaknya dari samping.  "Suka ngaco Ayah kamu kadang, Pat. Itu juga alasan Bunda kadang mau selingkuh dari Ayah."

Ayah Patra langsung menengok dengan cepat. Menatap istrinya mengintimidasi, "Bunda ya, kalau ngomong bikin ayah pengen cium."

Ayolah. Rasanya bukan waktu yang tepat jika kedua orang tua Patra ingin bermesra-mesraan sekarang.
Duh, jadi kangen Raina.

Eh, sebentar. Kenapa Patra tiba-tiba ingat dengan cewek itu? Terakhir cowok itu bertemu dengannya, saat di ruang musik. Kedua matanya langsung berair ketika Patra berbicara yang mungkin menyakitkan untuk hatinya. Namun, bukankah itu faktanya?

Rasa bersalah Patra tiba-tiba muncul. Akan tetapi ... apakah keputusan yang sekarang ia ambil sudah benar? Patra bertanya-tanya.

"Gue gak boleh terkecoh. Dari awal, yang gue suka itu Raini, kan? Bukan Raina. Keputusan gue pasti udah yang paling tepat. Setelah ini, gue mau ketemu sama Raini," batin Patra.

"Tapi tetep aja, Ayah kayaknya gak setuju kalau kamu cerai sama dia. Belum juga Ayah punya cucu, Pat."
Perkataan ayahnya seringkali membuat Patra tepok jidat. Bunda yang ada di sampingnya mengelus-elus punggung Patra.

Seakan memberinya kesabaran dalam menghadapi sang Ayah.

"Pat, emangnya kamu bertengkar apa sama Raina? Semuanya bisa dibicarakan secara baik-baik, kan? Masa cuma masalah kecil kamu berani bilang talak sama dia?" ujar bundanya memberi pengertian pada anaknya.

"Emangnya kenapa juga harus ngejodohin Patra sih, Bun? Gak sekalian jodohin kambing sama sapi?"

"Kami gak bermaksud egois, Pat. Buat kamu-kamu juga, kok. Lagian kami juga sudah mem-fasilitasi, 'kan?"

Patra menyentakkan kakinya dengan kesal. Cowok itu sempat mengucapkan beberapa kalimat sebelum pergi keluar, "Terserah Bunda sama Ayah aja, deh. Sama-sama gak nyambung!"

***

   "Rai, kamu beneran mau terima tawaran ini?" tanya mamanya yang kini tengah duduk di pinggir kasur Raina, sembari membaca ulang kertas lembaran yang berupa formulir.

Sedangkan Raina sibuk mencari-cari bajunya di dalam lemari. Gadis itu sama menjawab namun tidak menatap, "Iya, Ma. Lagian Raina juga udah di DO dari sekolah. Izinin Rain tinggal sama Nenek, ya, Ma? Biar Raina bisa ngelanjutin sekolah di sana."

Mamanya menatap Raina dengan penuh dosa. Hatinya sesak ketika mendengar kabar tersebut pagi-pagi sekali hari ini, dia ditelepon kepala sekolah untuk datang. Namun, malah mendapat surat keterangan anaknya di drop out dari sekolah dengan alasan pencemaran nama baik. Entah bagaimana kalau nasibnya Patra.

"Awalnya mama pikir, mungkin menyenangkan kalau kamu nikah muda sama Patra. Kamu jadi gak terperosok sama pacaran yang masih haram. Tapi, mama sama sekali gak mikir resikonya buat kamu."

Raina menoleh, dia tersenyum. "Mama tenang aja, Raina bakal baik-baik, kok di rumah Nenek. Cuma ... tawaran yang waktu lalu itu sekarang masih berlaku, 'kan, Ma?" tanya Raina sembari melipat baju-bajunya yang kemudian diletakkan dalam koper.

"Masih, sih. Tapi kan, kamu sama Patra jadi LDR-an?"

Raina menghela napasnya. Soal itu malah membuat Raina tiba-tiba merasa sesak. "Ma, Patra udah tau semuanya. Harusnya yang nikah sama Patra itu Kak Raini, 'kan? Tapi dia malah pergi menjelang pernikahannya. Oh, iya, Raina sempet kaget kalau ternyata ... yang dicintai Patra pertama kali itu kak Raini, Ma. Bukan Raina."

Mama Raina menatap sayu anaknya. Rahasianya sudah terbongkar semua. "Iya ... kamu yang jadi penggantinya."

"Terus, Patra minta cerai sama aku." Yang ini adalah bagian terburuknya. Namun, Raina susah payah menyembunyikan rasa sedihnya. Dia mencoba untuk bersikap biasa saja, seolah-olah tidak ada perasaan sebelumnya.

"Mama ... gak tahu harus kasih saran apa buat kamu, Rai. Yang jelas mama sedih. Kakak kamu belum ketemu, dilacak sama polisi pun gak bisa. Kamu tega ninggalin mama sendiri di sini?"

Raina mendekat pada Mamanya. Terlihat satu tetes dua tetes mulai berjatuhan dari kedua matanya. Hanya dengan melihat mamanya menangis, malah membuat hati Raina teriris. Namun ... keputusan tetap keputusan. Raina harap ini jalan yang terbaik untuknya, untuk orang tuanya juga.

Raina memosisikan dirinya duduk di lantai dengan kedua tangan yang berada di atas paha mamanya. Wanita itu menunduk sejak menangis dalam diam tadi. "Ma, Mama gak sendiri. Masih ada Papa di sini. Raina janji, Raina bakal bantu buat menemukan Kak Raini secepatnya."

Tak lama, wanita paruh baya tersebut menghapus jejak-jejak air matanya menggunakan telapak tangan. "Mama nyesel, Rai. Namun, kalau kamu memang harus bercerai sama Patra juga bisa buat keluarga kita terancam."

Dalam sekejap, kalimat mamanya barusan membuat Raina bungkam. Dia sendiri juga paham, tapi ... rasanya jadi jauh lebih rumit.
"Gak cuma keluarga kita, tapi keluarganya Patra juga. Nama baik kita bisa tercemar."

Kini Raina jadi pusing sendiri dengan keadaannya. Dia tidak tahu siapa yang harus disalahkan di sini. Di satu sisi, Raina salah karena telah menerima hasil perjodohan orang tuanya. Namun di sisi lain, orang tuanya juga salah karena mereka terlalu cepat menikahkan anaknya.

Tanpa berpikir konsekuensi yang akan terjadi. Zaman sekarang, bukan zaman baheula yang anak lulus sekolah dasar saja sudah langsung menikah.

"Oke, Ma. Mana formulirnya tadi? Raina mau isi."

Mamanya menyerahkan kertas formulir itu. "Apa kamu bahagia sama pilihan kamu, Rai? Yakin udah tau resikonya nanti? Gak akan ceroboh kayak mama sama Papa?"
Raina memegang bolpoint.

Pandangannya tidak beralih pada kertas formulir itu, ada rasa yakin yang menggebu-gebu. "Iya."

"Kalau emang keputusan kamu udah bulat, Mama gak akan ngelarang. Nanti Mama akan telepon nenek kamu di Kalimantan buat ngabarin kalau kamu mau tinggal di sana."

Raina memeluk mamanya secara tiba-tiba. Ada sedikit rasa senang ketika mamanya mau menerima keputusannya. "Makasih, Ma. Makasih."

My Little Wife [COMPLETE]Where stories live. Discover now