BAB 1

156 11 1
                                    

Pagi itu pukul 02.15 aku terjaga dari tidurku, dan segera melompat bangun. Bagaimana mungkin aku tak bahagia, bukankah hari ini liburan ramadhan? Ah... akhirnya aku bisa bertemu abi dan umi lagi, tapi aku tak berharap bertemu dengan mas Rasyid dan mas Wildan, kakakku yang paling menyebalkan sekalipun mereka telah berkeluarga dan memiliki anak, tetap saja mereka sangat menyebalkan.

"Syah..... Aisyah bangun....!!!! hari ini liburan, buruan bangun....." ujarku memekakkan telinga Aisyah, sahabatku yang masih terlelap.

"Iya tau, jangan berisik, 10 menit lagi bangunin aku, kamu mandi duluan sana, mulai kemaren sore kamu gak mandi" tutur Aisyah, sementara aku langsung mencium badan ku, lalu menyengir, benar-benar.

"Selesai aku mandi nanti aku bangunin ya" lanjutku dan dibalas dengkuran halus aisyah. Aku menyahut handukku dan segera melesat mandi.

06.30 WIB

Benar saja, kini di depan gerbang asrama mulai ramai dengan wali santri dan santri yang hendak liburan. Aku dan Aisyah baru saja menyelesaikan packing barang kami, kemudian bersantai didepan kamar ditemani snack terakhir sebelum kami pergi liburan. Aku menatap langit cerah, sedikit terbesit di hatiku perasaan gelisah, sampai akhirnya aku tersadar dari lamunanku sebab Aisyah menpuk bahuku.

"Abi mu telpon," ujarnya tanpa bersuara sembari menyodorkan hp tulalit milik asramah

"Assalamualaikum bi..?"

"........"

"iya bi"

"......."

"Oke, siap abi "

"......."

"Iya ini siap-siap"

"......."

"Iya waalaikumsalam" kemudian panggilan berakhir, Aisyah menatapku penasaran, pasalnya setelah hp tulalit itu kuserahkan padanya aku segera bergegas mengenakan jaketku dan mengambil tasku

"Abiku sudah ada di depan gerbang, aku harus balik duluan, maaf ya syah" aku memegang bahu aisyah, menatapnya lekat-lekat. Memang dari dulu kami selalu pulang bersama

"Santai aja kali El, udah buruan pulang sana, kasian abimu nunggu di depan" Aisyah malah melontarkan dengan senyum manisnya

"Ya udah aku pulang dulu assalamualaikum"

"Waalaikumsalam" aku segera menuju gerbang pondok, mengedarkan pandanganku mencari mobil milik abi, dan itu tak membuahkan hasil.

Aku meletakkan tas ranselku didekat kaki, hampir 15 menit aku mengelilingi lapangan parkir tak kunjung kudapati mobil milik abi. Malah fokusku teralihkan pada mobil hitam mercedez, aku menatapnya cukup lama hingga bunyi klakson mobil itu mengagetkanku. Perlahan kaca mobil pada bagian kemudi turun terbuka dan menampakan seorang pemuda berkacamata hitam.

"El....!!!" serunya, aku hanya melongo menatap tak yakin kearah pemuda itu

"Elvira kan?" kemudian ia mengisyaratkan dengan tangannya agar aku segera masuk kedalam mobilnya. Setelah aku memasuki mobil ia segera melajukannya. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya yang kudengar hanya lantunan samar yang sepertinya tidak asing.

"Imriti, Maqsud, Alfiyah?" pemuda itu mulai membuka mulut, sepertinya ia ingin mengujiku

"Alfiyah" jawabku singkat, ia mengangguk kemudian menghela nafas

"So... وهل فتى فيكم؟ el" yang benar saja ia bertanya nadzom 126 yang sangat lumrah itu, orang ini sungguh ingin mengujiku, lihat saja.

"فماخل لنا # ورجل من الكرام عندنا" jawabku mantap tanpa ragu. Pemuda itu tak berekspresi sedikitpun, skak mat, jelas sekali dari tampilannya bahwa ia bukan manusia keluaran pesantren, mana mungkin tau.

"Sudah kuduga" dia berujar kemudian, smirk di garis senyumnya mematikan. Apa maksudnya

"Maksudnya?" ia malah hanya membenarkan posisi kacamatanya tanpa menghiraukan pertanyaanku. Aku memalingkan wajahku kearah jendela, sudah aku tak mau bertemu orang ini lagi.

Perjalanan menjadi cukup lama semenjak mobil ini terjebak macet, langit pun ikut tak mendukung, perlahan air langit pun ikut turun. Keadaan yang benar-benar memadai untuk tidur, mataku mulai berat, beberapa kali aku menguap dan menahan kantuk yang menyerangku perlahan-lahan.

"Jangan dipaksa" kicaunya, aku tak menggubris hanya mengusap mataku, dan kali ini rasanya benar-benar tak mampu menahannya lagi. Samar-samar kulihat pemuda ini mematikan ac mobilnya dan menekan tombol didekat jok penumpangku untuk menyamankan posisi tidurku sampai pada akhirnya aku benar-benar terlelap. Ah sudahlah, mungkin ia iba.

Mungkin 30 menit kemudian aku merasa seseorang mengetuk kaca mobil, membuatku seketika tersadar aku sudah sampai dirumah. Buru-buru kuambil tasku dan segera turun menemui abi dan umi. Melesat masuk tanpa menghiraukan apapun, bahkan pemuda itu pun aku melupakannya.

Mataku menangkap sosok yang sudah kunantikan sejak di mobil tadi. Aku meraih tangan abi kemudian menciumnya, begitu pula dengan umi bonus peluk dan cium dari umi. Setelah itu umi menyuruhku untuk membereskan barangku dan beristirahat.

***

"Kamu masih yakin? Liat sendiri kan tadi tingkahnya bagaimana?" tutur seorang pria paruh baya dihadapanku saat ini, aku mengalihakan pandanganku menatap papa yang tengah menyeruput teh hangatnya

"Lho.... papa ya terserah kamu, kan yang nanti menjalakan kamu, yang tanggung jawab juga kamu, jadi keputusannya di kamu juga kan?" ujar papa. Aku menghela nafas kemudian mengusap wajahku.

"Maksud Ilham, Ilham ini beneran di restui kan?" tanyaku

"Kalau papa iya, coba kamu tanya ke abinya, di restui nggak?" aku mengalihkan pandanganku kearah pria paruh baya ini lagi. Kali ini ia tersenyum kearahku

"Iya, saya restui, dan saya harap nak Ilham sanggup ya menghadapi tingkah dan sifatnya yang kekanak-kanakan" ujar pria ini alias calon bapak mertuaku. Aku mengangguk mantap.

Setelah kesepakatan itu disetujui kedua belah pihak, aku dan papa kemudian pamit. Aku harus segera terbang ke Malang, karena masa cutiku akan segera berakhir. Di dalam mobil keheningan menemani kami. Papa memejamkan mata sambil mendengar berita lintas radio.

"Ini yang papa takutkan" ujar papa tiba-tiba, aku menaikkan satu alisku tanda tak paham

"Kamu sama papa yang sudah kenal 24 tahun saja nggak bisamencairkan suasana, gimana sama Elvira nanti? Kasian dia dapet suami sepertikulkas berjalan" cerca papa, aku tersenyum, kita lihat saja nanti.

Ilham JungWhere stories live. Discover now