Chapter 1

21.7K 1.5K 10
                                    

Henry Griffin

“Ah!” Payudara Isla bergoyang cantik selagi dia mendesah dan naik turun di atas tubuhku. Membuat kejantananku terjepit erat di dalam dirinya.

Kuperhatikan dia tanpa mau menyentuhnya. Lagipula, dia itu perawan bodoh. Lebih buruknya lagi, pengkhianat. Dia kekasih sahabatku, dia berkencan dengan Rudi tapi langsung jatuh ke dalam jebakanku ketika cuma satu kali aku merayunya.

“Henry!”

Aku tersentak, mendorong Isla tanpa sengaja karena terkejut.

“Buka pintunya, Henry!” Gedoran di pintu makin kuat.

Itu Primrose Holden. Kakak iparku yang berisik.

“Nanti!” Aku berteriak sambil memunguti pakaian Isla yang berserakan di lantai, lalu melempar ke arah si gadis telanjang ketakutan. “Cepat pakai.”

“Henry—ya, ampun!” Prim sudah membuka pintu karena aku memang tidak menguncinya. Dan melihatku telanjang, tapi spontan balik badan. “Kau keterlaluan! Kenapa kau melakukannya di rumahku?”

Ah, berisik! “Ini bukan rumahmu. Ini rumah kakakku.”

“Cepat berpakaian dan antar gadis itu pulang.” Prim masih saja memunggungiku.

Kuberi isyarat pada Isla agar segera berpakaian, lalu berkata pada Prim. “Tidak bisakah kau membuatkanku segelas jus kranberi?”

“Aku bukan pesuruhmu. Berhentilah bersikap tak sopan padaku.” Dia pergi. Cara ampuh mengusirnya memang harus segala sesuatu yang menyangkut harga dirinya.

Sekembaliku mengantarkan Isla sampai perempuan itu masuk ke taksi pesanan, kulihat sudah ada segelas jus kranberi di atas meja makan.

“Duduklah. Kita perlu bicara.” Prim muncul dengan segelas jus yang sama. Dia sudah berdandan, mungkin akan pergi ke toko. Kata Ryan—kakakku—Prim memiliki toko bunga di pinggir kota, dekat pantai.

“Kau menyogokku dengan segelas jus kranberi?” Aku duduk di hadapannya. Memegangi gelas dan memperhatikan kalau lipstiknya sedikit tidak beraturan.

“Kenapa? Apa yang kau lihat?”

“Tunggu dan tahan sebentar.” Buru-buru aku berdiri, lalu mendekat padanya. Bibirku mencium bibirnya dan yang kudapat tentu saja tamparan.

“Henry!” Wajah Prim memerah. Kuat dugaanku, karena dia malu, bukan marah. “Kau memang sangat tidak sopan. Aku ini Kakak iparmu. Istri kakakmu. Kenapa—”

“Memang apa salahnya? Aku cuma menghilangkan lipstik tidak rapi dari bibirmu, agar kau tidak perlu repot lagi menghapusnya.”

Dada Prim naik turun. Harga dirinya hancur, mungkin. Padahal sudah hampir dua pekan aku menumpang tinggal di sini, tapi sepertinya dia belum terbiasa dengan keberadaanku dan sikap kurang ajarku yang tidak bisa menganggapnya sebagai wanita suci.

“Terima kasih untuk jusnya.” Kuletakkan gelas kosong di atas meja. Membiarkannya menatapku dengan tatapan penuh dendam yang mungkin akan dibalasnya secepat mungkin. Akhirnya, dia tidak mencegahku, padahal katanya tadi ada yang ingin dibicarakan.

Satu jam setelahnya, aku keluar kamar. Prim sudah tidak ada. Dia pasti langsung pergi setelah menuliskan pesan dengan huruf-huruf besar dan ditempelkan di atas tutup mesin cuci.

LETAKKAN CELANA DALAM KOTORMU DI TEMPAT LAIN! JANGAN DIGABUNG DENGAN CELANA DALAMKU, MENGERTI?

“Hahaha!” Sambil terus tertawa, aku membawa kertas itu dan menempelkan pesannya di depan pintu kamar Prim. Ryan tidak akan tahu, sebab dia biasanya pulang tengah malam di hari-hari lembur seperti sekarang ini. Ada banyak perhiasaan yang perlu diawasi kedatangannya oleh Ryan hingga benar-benar masuk dalam keamanan berlapis di ruang penyimpanan.

𝐄𝐧𝐦𝐞𝐬𝐡𝐞𝐝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang