"Bang Didit?" gumamku. Seketika tubuhku gemetar. Sudah lama aku tak bertemu lelaki itu. Spontan tubuhku beringsut, berlindung pada tubuh Mas Ilham.
"Waow! Adikku memang mantap. Enggak sia-sia aku didik kamu menjadi pemuas nafsu. Hahahahahaha." Bang Didit terbahak memergoki aku berciuman dengan Mas Ilham.
"Siapa kamu?" tanya Mas Ilham.
"Oh, pacarmu rupanya belum tahu siapa aku, Ri?" tanya Bang Didit. Lelaki itu tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang menguning kecoklatan. Menjijikan.
"Perkenalkan, aku Didit kakak tiri pacarmu." Bang Didit mengulurkan tangannya. Mas Ilham menyambutnya.
"Ilham."
"Kalau kamu mau sama adikku, kamu harus mau juga menuruti semua permintaanku," ucap Bang Didit.
"Maksudmu?" tanya Mas Ilham. Dia belum tahu siapa Bang Didit.
Bang Didit menempelkan jari jempol dan jari tengahnya. Kemudian menggerak-gerakannya tepat di depan wajah Mas Ilham. "Upeti," ucapnya tak tahu malu. "Itu juga tergantung statusnya sebagai apa," lanjutnya.
Mas Ilham hanya mematung melihat tingkah Bang Didit. Mungkin dia tak menyangka, aku memiliki kakak seperti itu.
"Oh, ya, Ri? Selama ini kamu dijadikan apa sama dia? Pacar? Simpanan? Atau istri sah?" cecar Bang Didit.
Aku hanya menggeleng tak berani menjawabnya.
Gemas melihatku tak juga menjawab, Bang Didit mulai beringas ingin kembali menyiksaku. Dengan kasar ditariknya rambutku yang basah.
"Auw!" pekikku.
"Hei! Apa-apaan kamu!" seru Mas Ilham. "Lepas!"
Mas Ilham berusaha melepaskan genggaman Bang Didit pada rambutku. Setelah berhasil melepas tangan Bang Didit, Mas Ilham mendorong kasar tubuh Bang Didit.
"Hahahahahaha." Bang Didit malah terbahak melihat Mas Ilham. "Jangan lupa, ini!" ucapnya sambil menunjukkan jempol dan jari tengah yang ia gesekkan di depan wajah Mas Ilham. "Upeti," ucapnya.
"Lelaki gila!" umpat Mas Ilham. "Pergi!" serunya.
Bang Didit bergeming menatap tajam pada Mas Ilham. Kemudian terkekeh. "Nikmatilah tubuh adikku. Hahahahahaha."
Lelaki tak waras itu membanting pintu kasar kemudian melenggang pergi menembus hujan. Aku menggigil ketakutan.
"Kamu enggak apa-apa, Ri?" tanya Mas Ilham sambil memegangi kedua lenganku. Mas Ilham terlihat begitu khawatir melihat kondisiku.
Aku tak mampu bersuara. Hanya air mata yang mampu keluar mewakili rasaku.
"Kamu tenang semua baik-baik saja!" ucapnya.
Mas Ilham merengkuh tubuhku. Lama. Tubuh basah kami menempel saling memberi kehangatan. Perlahan rasa takutku akan Bang Didit menguap. Digantikan rasa nyaman oleh pelukan Mas Ilham.
Setelah peristiwa itu, Mas Ilham semakin perhatian padaku. Dia selalu menyempatkan untuk mengantarku saat pulang. Bahkan sering memintaku menginap di rumah mereka.
Mbak Mayang juga tak keberatan. Apalagi saat Delia-putri mereka- libur sekolah. Bisa dibilang aku malah diminta untuk di rumah saja menemaninya. Mereka bahkan mengajakku liburan bersama. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan. Aku benar-benar merasa sangat bahagia.
Hubunganku dengan Mas Ilham pun semakin dekat. Meski aku sangat takut kalau sampai ketahuan Mbak Mayang, tetapi tetap saja aku merasa sangat bahagia.
"Kita harus bersikap biasa ya, Ri, di depan Mayang!" pinta Mas Ilham saat kami duduk berdua di gazebo pantai. Saat itu Mbak Mayang dan Delia sedang membeli sesuatu.
"Iya, Mas," jawabku sambil tersipu. Entah mengapa sejak peristiwa berciuman di kamar kost, aku jadi salah tingkah saat bersama Mas Ilham. Meskipun Mas Ilham semakin perhatian dan terbuka.
Sering Mas Ilham bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang terasa hambar. Sungguh aku tak menyangka. Kukira mereka sangat bahagia memiliki segalanya, tetapi ternyata tidak.
"Mas jenuh, Ri," keluh Mas Ilham. "Sehari-hari cuma begitu-begitu saja. Apalagi Mayang, kamu tahu sendiri, kan, kayak gimana sibuknya dia?"
Aku hanya diam mendengarkan keluhan Mas Ilham. Tak berani berkomentar apa-apa. Takut salah.
"Di kepala Mayang itu cuma ada kerja dan uang, Ri. Kamu lihat, kan? Walaupun ekonomi kami berkecukupan, dia sangat hemat?" ungkapnya. "Sering loh, Ri, aku minta dia buat ke salon. Kayak perempuan kebanyakan. Biar wajahnya enggak kusut kusam begitu. Tapi dia mana mikirin itu. Besok sepulang dari sini aku antar kamu ke salon, ya, Ri?"
Aku benar-benar tak menyangka dengan permintaan Mas Ilham itu. Siapa yang tak mau? Bisa merasakan fasilitas seperti orang kaya.
"Iya, Mas," jawabku malu-malu.
"Kamu harus bisa merawat diri, Ri! Laki-laki itu butuh dimanjakan matanya juga," ucapnya.
"Iya, Mas."
"Tapi ingat, cantikmu cuma buat aku loh, ya! Awas kalau sampai kamu genit sama cowok!" candanya.
"Ih, Mas. Mana ada aku begitu!" protesku.
"Iya, Sayang. Aku percaya," ucapnya sambil menatapku dalam. "Aku sayang sama kamu, Ri."
Aku benar-benar seperti terbang melayang mendengar kata-kata Mas Ilham. Beginikah rasanya jatuh cinta? Indah sekali? Tapi kenapa harus dengan suami orang begini? Meskipun aku sangat bahagia, tetapi aku juga merasa sedih karena sadar tak mungkin bisa memiliki Mas Ilham sepenuhnya.
Aku mematung saat wajah Mas Ilham mendekati wajahku. Jantungku sampai rasanya ingin meloncat keluar saking bahagianya. Telapak tanganku bahkan sampai berkeringat dingin. Sampai akhirnya sensasi ini berubah seketika, saat terdengar seseorang memanggil Mas Ilham.
"Ayah!"

YOU ARE READING
KARMA
RomanceJika aku diizinkan untuk memilih, maka aku ingin Tuhan tak usah menghadirkanku ke dunia. Dunia ini terlalu kejam untukku. Dari pertama membuka mata hingga akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya. Semua teramat menyakitkan untuk kujalani.