1. Trap in Mind

141 18 18
                                    

Dalam keheningan malam teriakanku memekik, menjelma suara kijang yang terpanah jantungnya. Memenuhi ruang dengar orang-orang sekitarku. Membuat mereka yang mendengarnya tampak sedang membatin.

Apa yang sebenarnya ada dalam ilusiku? Ketakutan apa yang kurasakan dalam gelapnya kelopak mata yang sedang terpejam? Mungkin itu yang orang-orang ingin tanyakan kepadaku. Sayangnya mereka tetap bungkam, meski tatapan itu terlihat jelas sedang menatap wajah senduku.

Tak lama berselang, aku kembali tenang. Terdiam dalam lamunan dengan mata yang menatap jendela berterali besi. Mata yang kembali berkaca-kaca memberi isyarat kepada semua insan, bahwa aku sedang menjerit dalam diam.

Seseorang berpakaian putih terlihat memasuki ruangan tempatku berada. Dia menghatarkan makanan dan beberapa obat yang harus rutin kuminum. Mataku menatap tajam ke arah suster itu, rasanya enggan sekali meminum obat malam ini.

Meski kesadaran sering hilang, entah kenapa meminum obat selalu saja membuatku menghindar. Itu sebabnya beberapa kali aku mencoba kabur saat waktu minum obat telah tiba. Apa aku tidak ingin sembuh? Apa seperti ini hari yang ingin kujalani? Pertanyaan itu sering kutanyakan pada diriku sendiri.

Kali ini aku meminum pil pahit tanpa menggunakan paksaan. Mulutku terbuka seolah siap untuk diberi obat. Wajah suster itu tampak sedikit terkejut, mungkin baginya ini pertama kali melihatku menurut. Entah apa yang membuatku seperti ini. Saat ini aku hanya bergerak seperti mayat hidup yang tak bernyawa.

Suster itu tersenyum penuh bahagia, dia juga segera menyelimutiku kemudian berjalan kembali keluar. Namun, tidak lama kemudian aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Dari tingkahku yang terlihat, orang lain mungkin akan berpikir bahwa aku kali ini berusaha kabur lagi.

Kakiku berjalan mendekati pintu kamar. Aku membukanya lalu melangkah keluar. Baru dua langkah kakiku menapak, kepalaku mulai menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku tidak sedang melihat sekitar ataupun sedang memastikan keadaan. Tubuhku ada di sini karena kudengar seseorang memanggil namaku.

Sepertinya semua itu salah, tidak ada seorang pun di luar kamar. Kini langkahku membawa kembali ke tempat tidur. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, tetapi terdengar jelas bahwa suara seseorang sedang memanggil namaku.

Berbaring diselimuti kain berwarna biru muda menjadi pemandangan langka untuk orang yang sering menatapku. Aku merasa tenang menjalani malam ini. Namun, tiba-tiba isak tangis terdengar memenuhi ruangan sunyi ini. Ya, air mataku kembali mengalir dengan tiba-tiba. Rasanya emosi dalam diriku sedang mengendalikan kesadaranku.

Beberapa waktu berselang, mataku terpejam dengan sisa air mata yang mulai mengering. Sepertinya tubuhku terlalu lelah untuk menangis semalaman. Kini sinar-sinar kecil dari celah jendela mulai merambat ke tempat tidurku. Memberi sedikit cahaya dan kehangatan dalam dinginya hari yang selalu kurasakan.

Seperti hari-hari yang lalu, seorang suster datang mendekatiku dengan membawa sarapan dan juga obat. Tanganku ingin sekali mendorongnya. Mengunci tubuhnya di ruangan ini, dan menggantikanku terbaring setiap hari. Aku ingin keluar dari tempat ini. Tempat yang dipenuhi orang-orang gila yang selalu menggangguku.

Tidak satu atau dua kali tubuhku mencoba pergi. Bahkan, jika bisa dihitung itu sudah berlangsung puluhan kali. Tempat ini bukan tempatku! Mereka gila! Sedangkan aku tidak. Kenapa Ayah hanya menatapku dari kejauhan saja? Dia selalu tersenyum saat kumintai pertolongan. Apakah dia sudah tidak sayang padaku lagi? Kenapa Ayahku tidak pernah mendekatiku?

Begitu obat sudah kuminum, suster itu keluar dan kuikuti dengan perlahan. Bukan maksudku mengikutinya, hanya saja rasanya terus menerus berada di ruangan ini terasa sangat sesak. Selama berada di luar ruangan, perlahan langkah kami semakin menjauh. Dia tidak jalan dengan cepat, ataupun aku tidak berjalan dengan lambat. Namun, orang-orang gila ini terus mengusikku bahkan sesekali mereka menarik tanganku.

"Lepaskan aku!" Kutepis tangan mereka dan kupercepat langkahku. Sayangnya, mereka terus mengikutiku dan mengolokku sebagai orang gila. Ayah berada di ujung lorong ini. Menyaksikan mereka mengataiku terus menerus, tetapi dia hanya terdiam dengan tatapan hangat dan senyum lembutnya.

"Ayah! Ayah tolong!" teriakku dengan tangan yang berusaha menggapainya.

"Orang gila! Teriak-teriak sendiri! Orang gila!" Suara mereka terus memenuhi telingaku. Sepertinya Ayah tidak akan mendengarku karena teriakan orang-orang tidak waras ini. Begitu melihat Ayah melangkah pergi, hatiku merasa kesal. Ini semua karena mereka! Karena mereka teriakanku tidak didengar oleh Ayah.

Emosiku mulai memuncak, kutarik salah satu rambut wanita gila ini. Dia berteriak kesakitan, tetapi tanganku enggan untuk berhenti karena rasa kesal yang menyelimuti. Keributan mulai terjadi, beberapa orang berpakaian putih mulai berlarian mendekati kami.

'Tidak! Aku tidak mau diberi obat! Aku harus lari!' Tanganku mulai mendorong salah satu orang gila ini. Membuat beberapa suster membantu mereka bangkit dan kumanfaatkan waktu ini untuk berlari menjauh.

Terdengar langkah kaki yang mengejarku. Sebenarnya aku sudah tidak sanggup lagi berlari, tetapi para orang-orang menyebalkan itu pasti akan datang dan mengikatku. Mereka benar-benar menyebalkan. Aku sangat membencinya!

Karena tidak kuat berlari lagi, kuhentikan langkahku dan bersembunyi di bawah meja yang berada di ujung lorong. Kupikir tempat ini aman, tetapi salah satu wanita gila berteriak dan memberitahu keberadaanku. Rasanya kesal sekali, sudah kuminta untuk diam, tetapi tetap saja berteriak.

Tidak lama kemudian, mereka datang dan menyeretku. Teriakan mulai memekik, memenuhi lorong yang dipenuhi orang-orang tidak waras. Tawa menggema memenuhi telingaku, membuat kepalaku terasa pusing seperti ditimpa bebatuan besar. Aku benci tawa mereka! Aku benci teriakan mereka! Aku benci tempat ini!

Kini tubuhku berakhir di kamar yang dipenuhi terali. Tangan dan kaki mulai mereka ikat, bahkan suntikan penenang kembali menyentuh kulitku. Yang lebih menyebalkan dari ini semua adalah Ayah. Matanya terus menatapku dari kejauhan, tetapi kenapa dia tidak pernah mendekatiku? Apa aku juga dianggap gila olehnya? Kenapa Ayah tega?

Pertanyaan itu terus saja keluar dari pikiranku. Rasanya lebih menyakitkan daripada mendengar orang-orang itu mengataiku. Ah, sepertinya aku memang terjebak dalam dunia menyebalkan ini. Bahkan teriakanku saat ini mulai terhenti karena obat penenang yang mulai bereaksi.

Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri, kini lampu kamar mulai menyala dengan begitu terang. Membuat kepalaku merasa pusing karena diterpa cahaya yang berpijar. Kaki dan tanganku tak lagi diikat. Dengan cepat kumatikan lampu kamar dan berjalan ke sudut ruangan.

Aku mulai berjongkok dengan memeluk kedua kakiku. Bayangan-bayangan aneh terus mendekatiku dan menghujaniku dengan ribuan ketakutan. Entah apa semua ini, rasanya benar-benar menakutkan. Bahkan teriakan-teriakan yang entah darimana asalnya mulai terdengar memenuhi ruang dengarku.

Tubuhku bergetar ketakutan. Air mataku menetes dalam teriakan semu. Sesekali tanganku juga berusaha mengusir tikus-tikus yang mendekatiku. Aku tidak tahu bagaimana ada tikus di tempat ini, tetapi setiap aku mengadukannya para suster itu tidak pernah mempercayaiku.




🍁Dipublikasikan 16 November 2020🍁

Trap in MindDonde viven las historias. Descúbrelo ahora