30|| Seharusnya

350 60 18
                                    


Tok tok tok

Pintu kayu itu terbuka menampilkan sosok tampan dengan setelan jasnya. "Siapa?" tanyanya ragu.

"Seharusnya aku yang bertanya, kau siapa?" balas Haechan lirih. "Dimana Taeyong Hyung?"

Namja tanpan itu tersenyum canggung. "Tamunya Taeyong ya? Dia..."

"Ada apa?" Taeyong yang penasaran memutuskan untuk mengecek sendiri siapa yang bertamu malam-malam begini. Ia agak terkejut melihat Haechan datang dengan koper dan tas punggung besar yang ia letakkan didepan pintu. "Apa yang terja—"

"Hyung...." Haechan langsung memeluk Taeyong dan menumpahkan tangisnya di pundak orang yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

Ekspresi Taeyong menyendu. Melihat Haechan membawa koper dan menemuinya ia sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Selama ini ia sudah bekerja pada keluarga Lee dan sudah tau apa yang kedua adiknya alami. Baru saja tadi siang Jeno datang dan mengatakan bahwa ia sudah ingat semuanya dan sekarang, Haechan datang dengan berlinang air mata. Kenapa nasib ketiga adiknya tidak ada yang benar? Yang satu hidup dalam ketidaktahuan dan rasa bersalah, yang satunya lagi hidup dalam bayang-bayang orang lain sedang yang terakhir tengah berjuang antara hidup dan mati.

"Kalau bukan karena Jaemin aku tidak akan sudi tinggal dirumah itu"

Taeyong menepuk-nepuk pelan punggung sang adik. Keluarga Lee memang baik, sangat baik malahan. Tapi siapa sih yang akan tahan lama jika terus dipaksa untu menjadi orang lain dan melakukan sesuatu yang sama sekali tidak kau sukai? "Maaf merepotkanmu, Jaehyun-ssi, bisa tolong bawakan koper Haechan ke ruang tengah?" pintanya yang langsung dibalas anggukan oleh Jaehyun. Taeyong segera menarik Haechan ke ruang tengah.

Kini mereka tengah duduk beralaskan tikar. Anak-anak sudah tidur karena sudah larut malam. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi pergi dari rumah itu bukan tindakan yang di benarkan Hyuk. Kau tidak memikirkan perasaan Ibumu? Depresinya akan kambuh jika kau pergi" Taeyong tengah berusaha memberi pengertian pada adiknya.

"Dia ibunya Haechan, bukan ibuku. Kami bahkan tak pernah berfoto bersama. Hyung bilang orang seperti kita harus bisa mencintai diri sendiri. Lalu apa aku harus menerima semua perlakuan mereka?! Untuk apa aku memikirkan perasaan mereka yang tak pernah memikirkan perasaanku?!" Haechan berseru dengan wajah merah padam. "Demi kesembuhan ibu Haechan mereka memintaku untuk melupakan kalian termasuk Jaemin. Jika aku melupakan Jaemin, siapa lagi yang akan mengingatnya?!"

Taeyong kembali membawa Haechan dalam pelukan hangatnya. Ia tak tau lagi harus bilang apa. Selama ia sudah menjadi kakak yang tidak berguna. 80% biaya pengobatan Jaemin dibayar oleh Haechan. Uang dari gajinya ia pergunakan untuk menanggung biaya hidup adik-adiknya yang lain. Jadi, apa lagi yang bisa lakukan selain merasa bersalah karena membuat Haechan harus berjuang sendirian. Hari ini, ia telah melihat kedua adiknya yang menangis dihadapannya karena satu orang yang sama. Entah mengapa ia merasa lega. Lega karena setidaknya adik-adiknya masih mengingat tempat untuk pulang. "Eomma, mereka tetaplah saudara"

*-*-*-*

Teng!

Jaemin tersentak kaget mendengar nada dari permainannya sendiri yang meleset. Namja pemilik senyum menawan itu menatap sendu ke arah tangannya. Bukan, ia tak salah dalam memainkan nada. Ia hanya terkejut karena untuk sesaat tangannya itu menembus tuts-tuts piano. Pikirannya berkecamuk. Apa tubuhnya akan memudar dan kemudian menghilang nanti?

"Kenapa berhenti. Karena nadamu yang meleset tadi aku terbangun dari tidurku. Kenapa bermain piano sepagi ini? Membangunkan seisi rumah?" Chanyeol datang, munuruni satu persatu anak tangga dengan wajah kesal. Ini baru pukul 7 dan tidurnya terganggu karena ulah Jaemin.

The Crossing (CHANBAEK || JAEMREN) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang