Gulai Tikungan Blok M, dengan Sonia Laksani

73 16 9
                                    


"Bang, nambah lagi satu ya!"

"Ashiaaap, mbak!"

Jaka, dari tadi menyeruput teh botol dengan kalem, mendengus. "Gue kira abis jadi model lo tobat makan beringas," komentarnya, memandangi perempuan di depannya.

Perempuan yang ini namanya Sonia Natalia Laksani, tinggalnya persis di seberang rumah Jaka. Tadinya cuma tetangga merangkap teman sekolah yang suka berangkat dan pulang bareng, lalu titelnya ditambah teman bimbel, lalu tambah lagi jadi teman main, teman teleponan, titel yang sampai sekarang masih berlaku: teman ngobrol. Kadang sering Jaka bercandain, "temen hidup gas gak?", yang kemudian dibalas dengan tabokan keras di punggung.

Sekarang profesinya jadi model, selebgram, dan sebentar lagi naik jadi bintang sinetron. Tapi tetap saja Sonia adalah Sonia, cewek setengah preman yang dulu kalau di warteg kakinya naik (kecuali kalau pakai rok), bersin sama ketawanya gede banget, titisan Mak Lampir yang galak dan rebeknya bikin cowok mikir dua kali sebelum ngedeketin. Sonia kadang sering bercandain Jaka balik, "emang lo doang yang betah sama gue, Jak. Kayaknya kalo lo kabur gue nangis," dengan nada memelas. Biasanya habis itu Jaka merinding.

"Bacot amat lo," sahut si perempuan santai, ikut meneguk teh botolnya sendiri. Bedanya, dia minum dikokop langsung dari mulut botol, enggak kayak Jaka yang pakai sedotan.

Jaka meringis. "Asli lo anggun dikit kek. Nih, gue ambilin sedotan—"

"HEH."

Gultik atau Gulai Tikungan bundaran Mahakam ini enggak pernah sepi, karena tempatnya sangat terbuka dan betul-betul di trotoar pinggir jalan raya menghadap Blok M Plaza—entah mal keberapa di Jakarta. Yang berarti kendaraan enggak pernah absen lewat. Tapi tetap saja suara Sonia keras sekali, sampai beberapa orang di meja sekitar nengok. Jaka sekali lagi meringis, ingin berubah jadi tembok yang dia belakangi.

Oknum yang berseru enggak peduli, fokus pada Jaka dengan raut kayak emak-emak mau nelen anaknya, lengkap dengan jari teracung. "Berapa kali gue bilang penyu di laut mati gara-gara sedotan plastik macem yang lo pake itu, hah? Masih segitu muka temboknya lo tenang-tenang nawarin gue pake? Lo mau gue di akhirat ketahan di Padang Masyar karena gue jadi pembunuh penyu? Gue gibeng lo ya??"

Sonia Natalia, everyone.

Cita-citanya jadi Putri Indonesia kayak Nadine Chandrawinata, soalnya mau meningkatkan awareness orang-orang Indonesia akan sampah plastik yang menurutnya jahat banget.

"Ya lo ngokop-ngokop teh botol kayak apaan, anjir?" Balas Jaka enggak mau kalah. "Anggun dikit kek jadi cewek? Nanti lo ketauan biasa nenggak amer langsung dari botol kan gue yang imejnya jadi gak enak?"

"Alah, imej lo udah jelek juga padahal."

Abang-abangnya datang membawakan satu piring nasi gulai penuh dengan kerupuk. Sonia menerimanya dengan senyum pasta gigi, senang. "Makasih, bang!" Ucapnya sambil menyendok nasi. Hap. Makan lagi. Ini sudah piring keempat Sonia.

Memang porsi gulainya enggak banyak sepiring, tapi tetap saja. Sonia cewek, berbadan ramping dan berpenampilan seperti cewek-cewek yang semua makanan dihitung kalorinya. Mungkin abangnya juga sebetulnya bingung—ini siapa sih, cewek badannya kecil tapi nambah terus. Marah-marah soal sedotan, pula.

Atau mungkin enggak.

Sering sekali setiap Jaka makan di Gultik ada rombongan yang menantang salah satu dari mereka untuk makan banyak. Pemegang rekor yang Jaka dengar—ada yang ditantang makan 50 piring, tapi hanya kuat setengahnya. Hari ini Jaka dengar lagi, rombongan di dekat meja mereka menantang salah satunya untuk tembus sepuluh piring. Waktu mereka riuh ramai menyemangati si yang ditantang menghabiskan piringnya yang kedelapan, Jaka dan Sonia sama-sama menoleh, menonton dengan senyum kecil di masing-masing bibir.

Jaka ArtaWhere stories live. Discover now