Tantangan

41 6 0
                                    

Ini sudah lewat seminggu sejak kecelakaan Adrian hari itu. Setelah mendengar cerita dari Nathan, luka Adrian memang cukup parah. Tulang selangka bagian kanannya patah, luka lebam pun memenuhi tubuhnya. Kata Nathan sih itu kecelakaan tunggal gara-gara dia nggak fokus, mana ngebut juga.

Selama seminggu itu pun, hari-hari yang gue lewati menjadi agak suram. Gue jadi malas makan, tidur pun nggak teratur. Akhir-akhir ini jadi banyak begadang. Ini bener-bener bukan Elisha yang bodo amat sama sesuatu hal, ini malah sebaliknya. Wajah Adrian terus hinggap di pikiran gue.

Terakhir kali ketemu Adrian cuma hari itu, waktu hari kecelakaannya. Setelahnya, gue bahkan nggak berani ke rumah sakit. Di sana juga kata Nathan ada Syafira. Gue, gue nggak mau ketemu Syafira. Bahkan gue juga nggak mau Adrian tahu keberadaan gue lagi.

Iya. Gue ingin menjauh.

Gue ingin ngelupain semuanya. Gue ingin balik kayak dulu lagi, jadi seorang Elisha yang bodo amat.

“Sha, katanya ajang kompetisi olahraga sekolah bakal dicepetin jadwalnya. Lo mau ikutan lomba apaan?” Anita yang sibuk sama ponselnya itu sekarang mencoba bangunin gue yang pura-pura tidur.

Dengan kepala tersandar di lipatan tangan, gue berdeham kecil lalu menggeleng pelan.

“Shaaa, semangat dikit kek. Ini udah kayak orang gak punya tujuan hidup,” rengek Anita.

“Emang,” jawab gue pendek.

Elah, lo kenapa sih? Cerita sama gue Sha. Jangan diem-dieman gini dong.”

Gue mengangkat kepala dengan mata menyipit. “Gue nggak kenapa-napa.”

Gue mengeluarkan sepasang earphone lalu memakainya. Gue memilih memutar lagu yang melow-melow biar suasana muram gue lebih mendukung.

“Lo patah hati?” Pertanyaan Anita masih dapat terdengar oleh gue walaupun gue lagi pasang earphone. Gue mengulum bibir dan lagi-lagi menggeleng. Seketika Anita menarik kedua earphone gue dan menahannya.

“Dih, Elisha udah patah hati aja. Suka sama siapa lo?” cengir Anita. “Sini biar gue sleding leher orang yang buat lo patah hati.”

Gak usah di sleding juga elah, dia udah lebam-lebam juga mau lo tambahin?

“Eh, tapi, gue juga mau bilang makasih. Gila dong dia bisa buat lo patah hati. Iya kan?” Anita mengangkat sebelah alisnya, lalu memutar bangku menghadap gue.

Gue menekuk wajah, sambil mainin bibir. Bentar ya Nit, gue capek! Capek mikirin si buaya itu. Lo mana tahu seberapa penuhnya pikiran di otak gue. Bukannya mikirin tentang pelajaran lah ini mikirin Adrian.

Gue menggeleng kecil, lalu memposisikan tubuh seperti tadi, berusaha tidur lagi.

“Yah, Lo nggak seru ihh.” Anita menoyor kepala gue.

Siapa bilang gue tipe orang yang seru? Harus kursus sama Nathan dulu dong baru bisa kocak dan seru kayak dia.

“Ya udah, ntar kalo elo udah enakan, gak apa-apa cerita sama gue,” lanjut Anita yang di balas anggukan mengerti gue.

Gue membesarkan volume lagu dan lanjut tidur. Tapi tak lama setelah itu, terdengar suara hentakan kaki yang agak keras dari arah luar kelas.

“Apasih berisik-berisik?” celetuk Anita membuat gue melirik ke arah sumber suara di depan kelas. Gue memperhatikan mereka, tampak sepertinya Roy sedang berlagak di kelas orang.

“Ada apa gerangan baginda Roy yang gantengnya masih di bawah gue kemari?” Nathan ambil suara.

“Hm, Arvan mana? Gue mau ketemu sama ketua kelas sok jagoan.”

“Gue disini,” celetuk Arvan yang berdiri di ambang pintu. Roy Menoleh, sambil menyeringai.

“Gue mau tantang kelas ini di ajang kompetisi olahraga sekolah minggu depan. Biar gue lihatin ke kalian, kelas mana yang gampangan.”

“Kalo kami menang, kami dapet apa?” tanya Arvan.

“Kalo kalian menang, kami gak bakalan ganggu kalian lagi,” balas Roy. “Tapi kalo kami yang menang, kalian dan rombongan OSIS gak usah ikut campur urusan kami. Gak usah ngadu-ngadu ke guru kalo kami buat masalah.”

Arvan melipat tangan di depan dada sambil mengangkat dagu. “Oke.”

(º﹃º)

“NATHAAANN, LO NGGAK ADA AC OUTDOOR APA?" teriak Melisa yang lagi duduk di sebelah gue sambil sibuk mengipas-ngipas.

“NTAR GUE NYALAIN HELIKOPTER DI SINI BIAR LO PADA TERBANG," balas Nathan teriak juga sambil mainin bola basket di tengah lapangan. “Rombongan basket mana sih?”

“Gak tahu,” sahut Bagas. Kini mereka berdua merubah posisi menjadi duduk di tengah lapangan basket milik Nathan.

Jadi ceritanya gak tahu kenapa, gue jadi ikutan latihan buat lomba olahraga nanti. Padahal gue itu orang paling malas di kelas. Anak akademik di kelas pada mager buat olahraga, mereka pada demen sama rumus-merumus. Tapi yah, karena ini menyangkut masalah damai sama IPS 3, mau nggak mau semua ikut.

Yang milih rumah Nathan buat dijadiin area latihan tuh si Aaron. Katanya, rumah Nathan yang paling memungkinkan buat tempat latihan. Emang sih, fasilitas olahraga di rumah Nathan tuh lumayan lengkap. Kalau di rumah dia juga nggak berisik, secara dia anak tunggal. Makanya agak sepi.

Target hari ini cuma basket soalnya baru permulaan. Kata Nathan, latihan awal-awal tuh nggak boleh yang berat-berat. Makanya si Nathan sama Bagas masih bengong karena rombongan basket belum datang. Gue sama Melisa juga kerjaannya cuma duduk-duduk aja di anak tangga lapangan.

“Mel, lo bawa minum gak? Gue haus,” tanya gue. Melisa langsung teriak lagi.

“NATHAAANN, LO PUNYA MINUMAN GAK? GUE SAMA ELISHA HAUS NIH. GIMANA SIH LO, GAK NGASIH KITA MINUM. KALO GUE MATI KEHAUSAN, AWAS AJA LO NGGAK TANGGUNG JAWAB.”

“AMBIL AJA SENDIRI NENG KE DAPUR,” seru Nathan.

“OKEE.” Kemudian Melisa berdiri dan pergi meninggalkan gue sendirian. Karena gue nggak ada kerjaan, jadi gue karokean sendiri dengan suara kecil.

Tiba-tiba ada benda keras yang dingin menyentuh pipi kiri gue membuat gue sontak menoleh lalu mengusap-usap pipi gue.

“Nih, biar suara lo nggak serak, jadi telinga gue nggak sakit denger lo nyanyi.”

(º﹃º)













Maaf kalo chapternya pendek:)
Voment ya.




Thursday, 26 Nov 2020.

Goodboy VS FakboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang