BAB 2

1.4K 29 0
                                    

Rumah Eyang

Saat tiba di kota tersebut, mobil kami berhenti di salah satu halaman rumah. Yang ternyata ini adalah rumah tujuan dari perjalanan kami ke kota ini, kita telah sampai.

Rumah ini adalah rumah milik saudara yang Tétéh maksud. Padahal seingatku, keluarga kami tidak memiliki saudara yang tinggal di kota ini. Dalam hati, aku merasa heran.

'Ah, sudah lah! Mungkin aku saja yang kurang tahu,' benakku.

Kami semua keluar dari mobil. Namun suasana mulai terasa aneh bagiku, ketika aku mulai menginjakan kaki di halaman rumah ini. Aku merasakan hawa mistis yang begitu pekat di sekeliling tempat ini.

Di hadapanku, terpampang sebuah rumah khas Adat Jawa yang terbuat dari kayu Jati, di sekitarnya dihiasi oleh beberapa patung dan tengkorak hewan. Membuat suasana rumah itu semakin terkesan menakutkan.

Lama kami berdiri di halaman rumah, menatap setiap sudut bagian depan rumah itu, melihat-lihat ke sekitar, malah membuatku merinding dibuatnya.

Kemudian, setelah kami puas melihat-lihat keadaan di sekitar. Baru lah kami dipersilahkan masuk ke dalam rumah itu, yang langsung disambut hangat oleh seorang pria dewasa, lalu mempersilahkan kami duduk. Kami pun langsung duduk di sana, di ruang tamu.

"Tunggu sebentar, ya! Suhu masih siap-siap di dalam," ucap pria itu kepada kami dengan ramah.

Sambil menunggu orang yang di maksud oleh pria itu datang, aku melihat-lihat hiasan yang terpampang di ruang tamu ini.

Banyak sekali hiasan dinding yang berbau mistis. Di antaranya berupa keris, tombak, dan masih banyak lagi benda mistis lainnya.

Namun, yang membuatku kaget yaitu, ketika pandanganku terfokus pada sebuah lukisan laki-laki yang sedang mengenakan pakaian serba hitam, seperti pakaian paranormal, lengkap dengan sabuk yang melingkar di pinggangnya. Disertai dengan rambutnya yang gondrong, juga cincin-cincin besar yang menghiasi jarinya, sembari tangannya memegangi sebuah keris. Hal ini membuatku bergidik ngeri.

'Masa sih, orang dalam lukisan itu saudara yang di maksud oleh, Tétéh. Tapi kok, cara penyambutannya tidak seperti kepada saudara' gumamku dalam hati. Sekelebat pertanyaan-pertanyaan muncul di kepalaku, tapi tidak satu pun aku berani menanyakan hal itu.

'Ah, sudahlah, biarkan saja. Yang terpenting, ini tidak akan mencelakakanku dan tidak akan merugikanku. Lagian, Aku kesini kan hanya untuk mengantar Tétéh, tidak lebih,' benakku.

Tak lama kemudian, muncul lah seseorang dari balik kamar. Dia memakai pakaian serba hitam, rambutnya gondrong, terlihat cincin-cincin besar menghiasi jarinya. Layaknya seperti orang yang berada dalam lukisan itu.

'Itu pasti yang di maksud, Suhu, tadi,' pikirku.

Tétéh dan Ua langsung berjabat tangan dengan orang tersebut, sekaligus memperkenalkanku padanya. Lantas, dengan segera aku pun tersenyum sambill menganggukkan kepala dan berjabat tangan dengannya, menyusul Tétéh dan Ua.

"Eyang Suhu, ini Cika, saudraku," Tétéh meyentuh bahuku, "Dia masih kuliah. Dia kesini hanya untuk mengantarku saja, tidak lebih," ucap Tétéh memperkenalkanku kepada orang tersebut.

Kemudian Eyang Suhu langsung menoleh ke arahku, aku pun langsung menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Beneran, kamu hanya mengatar?" tanya Eyang Suhu kepadaku, sambil menatap tajam ke arahku.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirku, aku hanya bisa menganggukkan kepala tanda membenarkan ucapannya.

"Baiklah, kalau begitu!" ucap Eyang suhu, sembari memalingkan pandangannya dari wajahku dan kembali menatap Tétéh.

Aku semakin tidak paham dengan semua ini. Tapi aku hanya bisa diam seribu bahasa dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalaku.

Kini posisi Eyang Suhu berhadapan dengan Ua dan Tétéh, aku yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa diam sambil mendengarkan mereka bertiga.

"Jadi kieu, Eyang. Kumaha, nya? Ayeuna téh abi bener-bener bingung, teu bisa mopohokeun lalaki itu, padahal maneh na téh geus nganyenyeri hate abi," (Jadi begini, Eyang. bagaimana, ya? sekarang ini aku benar-benar bingung, gak bisa melupakan laki-laki itu, padahal dia sudah menyakiti hatiku,) ucap Tétéh menjelaskan permasalahannya itu kepada Eyang Suhu.

"Enggeus teu nanaon, gampang lah éta mah. Ayeuna hayang dikumahakeun? Hayang di pohokeun ataua dimalikeun sina resepeun deui ka, Eneng?" (Sudah gapapa, gampang lah itu mah. Sekarang mau di bagaimanakan? Mau dilupakan atau mau dibikin suka lagi sama, Eneng?) kata Eyang Suhu sambil menatap Tétéh.

"Kumaha, Eyang, we. Nu penting abi geus cape," (Terserah, Eyang, saja. Yang penting aku sudah capek,) jawab Tétéh sambil terus memasang raut wajah yang sedih.

"Geus atuh! Ari kitu mah, engke saenggeus Ashar urang mangkat ka Gunung Ciremai. Engke, Eyang, mawa Murid-murid Eyang. Sok ayeuna mah istirahat we heula," (Ya sudah! kalau begitu, nanti setelah Ashar kita berangkat ke Gunung Ciremai. Nanti, Eyang, bawa Murid-murid Eyang. Sekarang istirahat saja dulu,) jelas Eyang kepada kami.

Kemudian Tétéh berbalik ke arahku, "Gimana, Neng? Neng, mau ikut apa mau tunggu di sini saja?" tanya Tétéh sambil terus menatapku.

Aku diam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan Tétéh karena masih memikirkan keputusanku.

'Kalau aku ikut, takut. Tapi kalau gak ikut ... Nanggung udah setengah perjalanan, ah, itung-itung pengalaman, lebih baik aku ikut saja' batinku.

"Iya, Téh! Aku ikut aja," seruku pada Tétéh.

Tepat pada pukul Empat sore, satu persatu orang berdatangan ke rumah Eyang Suhu. Kulihat ada Empat orang perempuan dan Satu orang laki-laki, mereka menghampiri Eyang Suhu kemudian mencium tangan Eyang.

"Kumaha? Persiapanna geus dibawa?" (Gimana? Persiapannya sudah dibawa?) tanya Eyang kepada mereka berlima.

"Atos, Eyang!" (Sudah, Eyang!) jawab mereka serempak, sambil menunjukan barang yang mereka bawa.

Ada yang membawa jeligen, beberapa botol plastik yang berukuran besar, senter, kemenyan dan dupa. Hal itu membuatku semakin penasaran, dengan apa yang akan mereka lakukan di Gunung Ciremai.

Setelah semua persiapan beres, dan memastikan tidak ada yang tertinggal, akhirnya kami berangkat menuju Gunung Ciremai.

***

Perjalanan yang cukup lama, dikarenakan jarak yang ditempuh cukup jauh, membuat aku merasa lelah hingga ketiduran. Entah berapa lama aku tertidur di dalam mobil, tapi saat aku membuka mata, kulihat dari kaca mobil kalau kita sedang berada di jalanan yang sempit. Di sekelilingnya hanya ada pohon-pohon besar, layaknya di dalam hutan.

Di sepanjang perjalanan, tidak ada penerangan sama sekali, kecuali lampu dari mobil yang kami tumpangi. Semuanya gelap, sontak membuatku semakin melebarkan mata, berusaha agar pandanganku terlihat jelas untuk menatap keadaan sekitar. Selain kendaraan ini, tidak ada kendaraan lain yang lewat.

Lama kami menyusuri hutan ini, hingga kita sampai di perkampungan kecil. Banyak rumah, namun semuanya sunyi dan sepi, tidak ada aktifitas, seperti tidak berpenghuni. Hanya terdengar suara jangkrik yang nyaring, dan suara kodok khas di perkampungan.

RITUAL DI GUNUNG CIREMAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang