Kenangan|| 5🍁

107 56 289
                                    

"Sebagai seorang anak, kami sangat mengerti bahwa semua orang tua ingin anaknya menjadi yang terbaik. Tetapi, bisakah dengan tidak menuntutnya?"
-Aldino Kana.


Happy Reading ... 🍁

Ica POV

Suasana minggu pagi yang cerah merupakan cuaca yang dinantikan oleh banyak orang. Mereka akan memulai aktivitasnya dengan rasa semangat dan ceria karena menyambut akhir pekan. Namun, tidak dengan diriku.

Bagiku, setiap waktu adalah ancaman. Ancaman dari mereka yang sangat membenci dan mengharapkanku tiada. Setiap waktu adalah tekanan dan luka untukku. Terkadang, aku hanya ingin merasakan sebuah kebahagiaan. Dan ternyata, sesulit itu untuk medapatkannya.

Kicauan burung peliharaan milik Papa, membuat rumah ini terkesan damai. Menimbulkan berbagai pandangan bahwa rumah ini ditempati oleh keluarga yang sangat harmonis. Lucu. Mereka hanya bisa melihat tanpa bisa mengetahui yang sebenarnya. Dan mereka beramsumsi, bahwa ini adalah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!

Diriku yang semula sedang melamun, dikejutkan dengan ketukan keras dari balik pintu. Aku tersenyum masam. Hal ini pasti akan terjadi padaku. Mau menghindar atau mengelak sejauh apapun, diriku yang akan dinilai bersalah dalam segala hal. Mengembuskan napas secara perlahan, aku mencoba untuk bertanya pada diriku sendiri, apakah sudah siap dengan segala hal.

Dan aku mengangguk dengan memejamkan kedua mataku. Setelah merasa yakin, dengan pasti kaki mungil ini berjalan untuk menuju pintu, "Ica bisa ... Ica bisa ... ya, Ica harus bisa ...." lirihku disetiap langkah yang harus dipijak.

Ceklek!

Berhasil! Aku berhasil melawan rasa takut dan membuka pintu kamarku dengan sempurna untuk mengetahui seseorang dibalik pintu ini. Bibir dan tanganku bergetar. Berharap bahwa diriku akan selamat.

Apakah aku akan selamat?

PLAK!

PLAK!

"ANAK KURANG AJAR!" bentak Papa dengan menampar keras pipiku.

Aku terdiam tak bergeming sekalipun. Rasa panas dan perih mulai menjalar di kedua pipiku. Aku mulai berkaca-kaca. Hati ini sekali lagi merasakan lukanya dari orang terdekat.

"BERANI KAMU MENARIK TANGAN ANNA, HAH?!" teriak Papa dengan tangan yang sudah bersiap menampar kembali.

PLAK!

Dan tamparan itu tidak terelakkan oleh diriku. Semburat merah yang menandakan rasa sakit dan kecewa mulai terlihat. Pundakku bergetar. Aku sudah tidak tahan menahan isakkan yang membuat dadaku sesak.

Papa mencengkram rahangku dengan keras. Sama persis seperti wanita itu saat menyentuh Mama. Diriku dituntut untuk menatap manik hitam legamnya yang sangat aku banggakan sedari dulu. Namun, saat ini masih pantaskah aku membanggakannya?

"MAU JADI APA, KAMU?! ANAK DURHAKA? IYA?!" bentaknya dengan wajah memerah dan meledakkan semua emosi yang ia rasa.

"JANGAN PERNAH KAMU MENYENTUH ANNA, ANAK SIALAN! BERANI KAMU MENYAKITINYA, PAPA HANCURKAN, KAMU!" ancamnya dengan mencengkram rahangku lebih keras.

Aku terisak. Aku merasa kecewa dengan seseorang yang kuanggap sebagai pahlawan untuk melindungi diriku. Inikah seseorang yang kubanggakan dulu? Inikah seseorang yang merupakan cinta pertamaku? Apakah benar dia orangnya?

Dengan rahang yang dicengkram kuat, susah payah aku berusaha berucap, "Ka-kalau wanita itu be-rani me-nyentuh Mama. A-kan Ica han-curkan dia," ucapku berusaha sama persis saat Papa mengancam diriku.

Kenangan Aldino (On Going)Onde histórias criam vida. Descubra agora