Bab 1. Menikah Dengan Duda

4.7K 207 7
                                    

“Kamu mau menikah dengan duda?”

Bila itu ditanyakan padaku beberapa tahun silam, aku akan langsung menjawab, “Big No!

Oke, bukan berarti aku merendahkan status duda, ya? Bukan sama sekali. Hanya saja, aku merasa kalau menikah dengan duda itu complicated, apalagi duda cerai. Sudah punya anak pula dari istri sebelumnya. Pasti akan ribet seribet-ribetnya.

Namun, aku lupa kalau jodoh adalah salah satu takdir yang tidak bisa ditentukan oleh keinginan manusia semata. Ada skenario dari Dia Yang Maha Kuasa yang mengambil peran besar di dalamnya. Bila Allah sudah berkehendak, maka terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Seperti pernikahanku saat ini.

“Cie ... cie ... yang dulu paling anti sama duda.”

Kalimat laknat itu keluar dari abangku yang minta dipenyet bareng lele atau ayam.

“Cie ... cie ... yang dulu pernah bilang kalau nggak mau disuruh ngurusin anak tiri.”

Kali ini, adikku yang minta dipresto biar jadi lunak.

“Udah! Jangan godain Hilsa terus, dong! Kasihan dia.”

Pahlawan bernama Ibu datang membela. Aku tersenyum jemawa karena merasa mendapat pengacara.

“Biar duda kan yang penting kaya, ganteng juga.” Ibu terbahak keras.

Ya, Allah! Tolong, ampuni dosa keluarga hamba ini ....

“Eh, yang pakai baju merah itu siapa, Bu?” tanya adikku tiba-tiba.

Aku mengikuti arah telunjuk Nara. Menyipit kala menemukan satu sosok wanita super cantik yang kini sedang berbincang dengan Mas Haikal. Pakaiannya yang berupa one shoulder dress tampak berpotongan fit di tubuhnya yang seperti seorang model. Warna dress yang merah menyala menambah kesan sensual.

“Itu kan mantan istri Haikal,” jawab Ibu santai.

Aku menoleh cepat dengan mata membelalak. Ngeri dengan fakta yang baru saja disampaikan oleh Ibu.

“Wuih, cakep!” celetuk Bang Andra. “Beda banget sama Hilsa. Mas Haikal nggak salah, nih? Masa dari—argh!”

Bang Andra menatapku nyalang. Tangannya mengusap bagian rambutnya yang barusan kujambak.

“Sakit, Sa. Tanganmu ngeri banget, sih!” Dia mengomel.

Siapa suruh merendahkan adiknya sendiri? Seharusnya sebagai kakak, dia kan mendukung adiknya, bukannya malah menjatuhkan mental begini.

“Cantikan anak Ibu, kok,” sahut Ibu yang memancing senyumku melebar.

Ibu memang the best pokoknya, mah!

“Hilsa kan masih menang muda,” lanjut Ibu yang membuat Bang Andra dan Nara tergelak.

Aku merengut sebal. “Harus banget, nih, Ibu nambahin begitu? Jadi, aku cuma menang muda doang?”

Ibu tertawa geli mendengar rajukanku. Bang Andra dan Nara tidak perlu ditanya. Mereka sudah pasti happy melihat tampangku yang memelas begini.

“Hilsa.”

Panggilan itu membuat kami berempat menoleh. Mas Haikal berjalan menghampiri. Sendiri, tanpa mantannya yang tadi. Entah ditinggal di mana wanita itu. Syukur-syukur, dia sudah pulang. Lagi pula, nyalinya besar juga buat datang ke pernikahan mantan. Kalau aku, sih, sudah pasti tidak mau. Lha, kamu aja nggak punya mantan, Hilsa!

“Eh, Mas,” jawabku masih kikuk.

Bang Andra dan Nara membuang muka. Pasti mereka sedang menahan tawa karena melihat interaksiku dengan Mas Haikal yang masih kaku. Mau bagaimana lagi? Perubahan status hubungan dalam sekejap tidak lantas bisa melenturkan interaksi kami seketika. Semua ada prosesnya.

Aku, Kamu, dan Mantan Istrimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang