Bab 10. Cemburu yang Paling Konyol

2.4K 182 18
                                    

Pada tahun 2013, ada satu judul drama Korea yang tayang dan cukup populer. Judulnya The Heirs. Drama yang dibintangi Lee Min Ho dan Park Shin Hye itu menceritakan kisah sejenis fairy tale. Tentang seorang anak konglomerat bernama Kim Tan yang jatuh cinta kepada Cha Eun Sang, anak pembantu di rumahnya.

Oke, aku tak ingin membahas review drama itu. Aku hanya ingin menyorot salah satu tokoh figuran yang ada di drama itu. Dia adalah Rachel Yoo. Sosok gadis yang pernah menjadi tunangan Kim Tan. Cantik, cerdas, tetapi berkepribadian tak ramah. Dia juga merupakan anak dari pasangan orang tua yang bercerai.

Sekarang, aku seperti dihadapkan dengan sosok Rachel saat bertemu dengan Lala. Tatapan matanya yang tak ramah, wajahnya yang tanpa senyum, juga kata-katanya yang cukup tajam. Sungguh, aku tak pernah bertemu dengan anak seperti Lala ini sebelumnya.

“Udah bersih? Aku alergi debu soalnya.” Dia bertanya setelah aku selesai membereskan kamar yang akan dia pakai.

Kamar ini memang tak pernah dipakai sebelumnya. Ya iyalah, siapa juga yang mau menempati? Aku dan Mas Haikal hanya menggunakan kamar utama saja. Makanya, aku perlu mengganti seprai, sarung bantal guling, dan juga bed cover-nya terlebih dahulu.

“Udah bersih.” Aku menjawab dengan nada meyakinkan.

Tak ada ucapan terima kasih, bahkan anak itu tak pamit padaku saat masuk ke kamar kemudian menutup pintunya. Wow! Aku sampai kehilangan kata-kata.

Namun, aku tahu kalau menegur dia saat ini juga tak ada gunanya. Bisa-bisa dia malah semakin antipati padaku. Baiklah, aku memilih untuk memanjangkan kesabaran saja. Semuanya harus dilakukan step by step. Perlahan dan hati-hati. Bagaimanapun aku adalah orang baru dalam hidup Lala. Jadi, aku tak bisa sembarangan masuk tanpa izinnya.

Sebagai pengalihan dari rasa kesal, aku memilih menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan makan malam. Aku memang tak selalu memasak setiap hari. Namun, aku berusaha sebisa mungkin memasak bila ada waktu. Ya, hitung-hitung melayani suami. Walaupun Mas Haikal sendiri sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan hal ini.

Setelah melihat bahan makanan yang ada di kulkas, aku memutuskan untuk membuat capcay dan ayam goreng. Kemampuan memasakku yang masih minim membuatku ragu untuk mencoba resep-resep baru. Jadi, menu masakan yang kubuat hanya itu-itu saja. Nanti kalau ada waktu, aku akan mencoba berguru pada Ibu.

Ah, betapa menyesalnya aku karena tak mau belajar memasak dari dulu. Bahkan sering menolak saat Ibu menawari. Yah, saat itu aku berpikir kalau memasak bukanlah skill yang penting-penting amat. Kalaupun tak bisa, masih ada puluhan rumah makan yang bisa dijadikan pilihan. Tanpa kutahu kalau menyajikan makanan untuk suami dari tangan kita sendiri adalah salah satu hal yang menyenangkan.

Mas Haikal pulang saat aku baru saja selesai mandi sehabis memasak. Dia tetap tersenyum walaupun tampak lelah.

“Macet banget tadi di Simatupang.” Dia mengeluh.

“Ya udah, mandi sana biar segeran. Abis itu kita makan bertiga.”

“Lala di mana sekarang?” tanya Mas Haikal sebelum masuk ke kamar mandi.

“Di kamar. Belajar mungkin.” Aku sengaja tak mengatakan kalau Lala memang tak keluar kamar sejak sampai tadi.

***

Sepanjang makan malam, Lala tetap tak banyak bicara. Dia hanya sekadar menjawab bila ditanya saja. Padahal aku tahu kalau Mas Haikal sudah berusaha menciptakan obrolan. Namun, yang tercipta hanyalah komunikasi satu arah saja.

Sementara, sikap Lala padaku tak perlu ditanya. Dia sepertinya menganggapku antara ada dan tiada. Zaman memang makin berkembang. Wajar kalau cerita dongeng sudah tak relevan lagi dengan zaman sekarang. Buktinya, anak tiriku ini tak ada mirip-miripnya dengan Cinderella. Eh, tetapi aku ‘kan juga bukan ibu tiri Cinderella. Aku mah sebenarnya lebih mirip dengan Bunda Ashanty.

Aku, Kamu, dan Mantan Istrimu Onde histórias criam vida. Descubra agora