Episode 1 Tahun-tahun Penuh Kesakitan

4.4K 734 115
                                    

Januari 2017

Hujan tak pernah jemu mengguyur tanah Jakarta sejak pagi. Menambah dingin hawa di sekitarku. Sesekali kuelus kening yang lebam karena sebuah tonjokan, terasa sakit dan ngilu. Namun, lagi-lagi aku diam dan hanya bisa menatap bulir air di kaca jendela kamar. Terasa sudah mati rasa, karena luka ini bukan sekali dua kali mampir.

Kutundukkan kepala ke atas meja belajar, terasa berat dan letih. Sebab baru menangis hampir setengah jam, ditambah pukulan yang cukup keras tadi. Sesekali menyesap kenyataan bahwa aku baru saja mengalami kesakitan lagi dari orang yang sama. Darinya, ibu kandungku sendiri.

Brak!

Suara pintu yang menghantam tembok. Aku melirik tipis, langkah kaki itu cepat dipacu. Derapnya cepat menuju posisiku duduk. Lantas kupejamkan mata, tatkala tarikan tangan kuat itu mendarat di rambutku.

“Aw, sakit, Bu!” rintihku kesakitan.

Ibu telah menjambak rambutku dengan sekuat tenaga. Ditariknya aku dan dibanting ke kasur. Lalu, dengan membabi buta ibu membuka lemari pakaian dan melempar barisan pertama isinya. Melempar tas di bagian bawah dan memasukkan bajuku dengan kasar.

“Pergi kamu! Aku nggak sudi lihat wajahmu!” usir kasar ibu dengan mata membara.

Kutahan sakit dan tangisan, “kenapa Ibu nggak percaya padaku? Aku beneran lihat mbak Vanya pakai uang sekolah buat beli baju,” uraiku jujur.

Sebuah tendangan mendarat di kaki kecilku. “Diam kamu anak durhaka! Terus saja kamu tuduh Mbakmu, ya! Kamu iri sama dia, ‘kan?”

“Enggak, Bu, sumpah!” aku menggeleng kuat sambil mendesis kesakitan.

“Kamu memang pantas diginikan!” Ibu menampar pipiku keras, sakit sekali. “Enak saja memfitnah kakakmu supaya Ibu benci dia. Dasar tukang adu domba kamu, ya! Kecil-kecil brengsek!”

Aku menangis tergugu. Hanya bisa terdiam dan pasrah. Kalah tenaga, kalah omongan, dan takut dosa. Sesekali sambil merasakan hujanan benda keras macam botol bedak dan teman-temannya pada muka dan badanku.

“Ibu!” pecah suara Mbak Vanya dari ambang pintu lantas mendatangiku dan Ibu. “Jangan sakitin Adik, Bu. Benar katanya, aku pakai uang untuk beli baju olahraga. Bukan untuk belikan Adik makanan,” lerai Mbak Vanya.

“Vanya, jangan percaya sama anak satu ini! Dia ini anak durhaka, suka bohong! Dia ini banyak dosa, jangan percaya adikmu!” balas Ibu tanpa ampun.

Kuremas tanganku kuat-kuat karena sudah tak tahan. “Berhenti, Bu! Berhenti bilang saya anak durhaka! Jangan sakiti saya lagi, sakit, Bu …!” lawanku menguatkan suara.

Ibu melotot tajam padaku lantas mendatangiku lagi, “diam kamu! Mulutmu yang suka bohong ini pantas dihukum!”

Ibu lantas menarikku ke dapur. Mendudukkanku secara paksa di depan kulkas. Aku berusaha berontak, tapi tak kuasa. Tenaganya terlalu kuat karena amarah. Sehingga aku hanya bisa pasrah saat Ibu meremas cabai merah di mulutku. Pedas, panas, dan … sakit.

Aku hanya bisa menangis.

“Sekali lagi kamu bicara, pergi dari rumah ini! Bawa semua barangmu! Aku nggak sudi punya anak sepertimu!” pungkas Ibu sambil berlalu.

Aku hanya tergugu, meresapi suara tangisku yang menderu pelan. Sesekali masih dilempar setumpuk koran karena aku masih menangis kesakitan. Sementara itu, Mbak Vanya hanya bisa memelukku. Sama dalam tangis. Namun, tak sesakit aku sebab ia adalah kesayangan Ibu.

Perkenalkan, namaku Shanala Arunika, usia tujuh belas tahun. Aku seorang korban KDRT ibu kandungku sendiri sejak usia lima tahun. Dan inilah ceritaku.
---

Suatu Hari yang Hujan di 2018, Tanah Jakarta.

Hari ini aku lulus SMA. Tawa banggaku ke mana-mana karena peringkat satu. Nilaiku bagus dan kuharap bisa untuk modal meneruskan kuliah. Inginku masuk ke kedokteran seperti Mbak Vanya, tapi terlalu mimpi. Tak masalah, mungkin saja mimpi itu menjadi nyata.

Prang! Sebuah piring beling dilempar di dekat kakiku. Tentu aku langsung terperanjat kaget. Makin kaget saat Ibu mendatangiku dengan mata menyala, beringas penuh amarah. Aku dijatuhkannya ke dekat beling itu. Telapak tanganku menggores pecahan itu dan berdarah. Mulutku langsung meringis kesakitan.

Roman (sa) ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang