10. POSITIF

2.2K 349 11
                                    

“Papa dan mama, memutuskan untuk  bercerai, Lintang.”

Hancur. Satu kata yang mendeskripsikan hati Lintang malam ini. Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah dengan basah kuyup itu, menatap getir kedua orang tuanya. Bagi seorang anak, perpisahan kedua orang tuanya adalah patah hati terburuk. Sangat buruk. Apa yang Lintang takutkan, kini benar-benar kejadian.

“Setelah mama resmi cerai sama papa, silakan kamu pilih salah satu dari kita, Lintang.” Vena angkat bicara, menatap putrinya dengan datar. Tak ada raut sedih di wajahnya, Vena seolah senang dengan perpisahan ini.

Entah sejak kapan air mata Lintang berderai, gadis itu hanya bisa diam membisu sebari berdiri di dekat sofa tempat kedua orang tuanya duduk sekarang.

“Jawab Lintang, kamu mau ikut papa, atau mama?” tanya Ardi langsung.

Lintang menyeka air matanya sambil tersenyum pedih. “Papa sama Mama, itu orang tua aku, lantas kenapa aku harus pilih salah satu dari kalian?” tanyanya parau.

Vena menepuk-nepuk pahanya pelan. Menatap Ardi, lalu Lintang secara bergantian. “Jawab Lintang, ini Cuma pertanyaan sederhana,” ujar Vena.

Lintang terkekeh lucu, bersamaan dengan itu air matanya kembali jatuh. “Sederhana?” Lintang menghela napas. “Patah hati terberat dari seorang anak adalah, perpisahan kedua orang tuanya. Aku benci perpisahan, Pa! Ma!” tukasnya lalu berlari pergi menaiki undakan tangga. Menuju kamarnya, pasti.

“Lintang!” Ardi berteriak, berharap putrinya akan kembali, namun nihil. Lintang lebih memilih mengurung diri di kamar.

Lintang menangis sejadi-jadinya di dalam kamar, ia kalut. Semua barang yang ada di pandangannya, ia jatuhkan hingga berserakan dimana-mana. Otak dan perasaannya sedang tak sinkron sekarang, pikiran Lintang benar-benar dangkal saat ini juga. Seolah kehilangan akal, Lintang menjambak rambutnya frustrasi.

“KENAPA?! KENAPA?! SEMUA ORANG NINGGALIN AKU?!” teriaknya kalut.
Benteng pertahanan gadis itu runtuh, ia jatuh terduduk lunglai sambil bersandar di tembok.

Sambil meremas roknya, Lintang berusaha meredam rasa sakit. Meredam segala jerit tangis kesedihannya. Sendirian, ditemani dengan sepi dan sunyi yang menyelimuti.

“Kenapa?” Gadis itu menangis pelan. Suaranya mengecil dan terdengar serak.

Lintang memejamkan mata, ia memeluk lututnya dan menundukkan kepalanya ke dalam.

“Kapan aku bahagia, Tuhan?”
Sedetik setelah mengatakan itu, gadis itu mengangkat wajah. Tangannya kini dengan kasar, menyeka air mata yang berderai di pipi dengan sarkasnya. Lintang bangkit berdiri, berjalan dengan tertatih menuju jendela.

Dengan napas yang sudah berdesak normal, Lintang menatap ke atas langit, matanya menatap hamparan bintang yang berpendar indah di langit sana.

“Kenapa harus aku, Tuhan?” Gadis itu bergumam parau.

“Karena Tuhan sayang kamu. Tuhan yakin, kamu bisa menghadapi ini Lintang,” sahut seorang pria yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar.
Lintang terperanjat kaget, ia berbalik badan dan langsung mendapati papahnya sudah berdiri di ambang pintu.

“Ngapain Papah kesini?” Lintang melengos kearah lain. Enggan rasanya menatap Ardi sekarang.

Ardi tak langsung menjawab, ia perlahan berjalan menghampiri putrinya. Lintang bergerak menjauh, saat Ardi berusaha mendekatinya. Jujur, Lintang tengah marah sekarang.

“Papah tau, ini berat buat kamu, Lin,” ujar Ardi memecah keheningan.

Lintang menyeka sisa air matanya yang menggenang di kelopak mata. Dengan sesenggukan ia perlahan menatap Ardi dengan sendu.

Garis Lintang [SELESAI]Where stories live. Discover now