25. Green Flash

1.8K 266 21
                                    

DAYINTA

Weekend ini Saka ngajak aku hiking, bukan ke gunung, tapi ke bukit-bukit yang ada di sekitar sini aja. Katanya dia sih hiking bagus buat menghilangkan stress. Karena aku percaya sama dia, ya jadi aku mau deh diajak nanjak.

"Vira nikahnya lancar loh, bagus banget Khidmat gitu acaranya." Kataku membuka obrolan karena sedari tadi Saka sibuk buka jalan. Yeah kami nyari jalan setapak sendiri, bukannya di jalur hiking yang sudah ada karena pasti di sana ramai.

"Bagus dong kalau gitu."

"Lo kenal Vira gimana sih ceritanya?" Tanyaku sok polos.

"Kenalan di konser, ya gitu lah, cuma kenal selewat."

"Serius kenal selewat? Kok ya dia mau curhat sama lo?"

"Ya ketemu kan emang jarang, tapi kadang dia suka chat, ya kalau gue gak sibuk dibales chatnya, udah gitu doang."

"Bener gitu doang?"

"Emang lo maunya apa?"

"Emm, gak tahu sih, hehehehe!" Aku jadi nyengir, salah emang sih kepoin soal Saka. Lagian, itu hidup dia kan ya? Mau dia sama siapa aja, ya selama dia bertanggung jawab sama dirinya, itu sama sekali bukan urusan aku.

Yang penting Saka kalau ke aku baik. Udah itu aja.

"Gimana? Si Satria masih ngajak lo balikan lagi?" Tanya Saka.

"Emm, untungnya sih kaga,"

"Waah? Mantap dong! Kok bisa? Bukannya kapan hari dia masih ke kostan ya?"

"Gue bilang aja dia gak worth it. Kalau dia oke nih ya, terus kita berdua serius, gue tahan-tahanin hidup punya adek ipar kaya Sosa." Aku berhenti jalan sebentar, bersandar pada batang pohon karena kelelahan, untungnya Saka juga lagi berhenti, minum air.

"Kenapa tuh dia gak worth it?" Tanya Saka, ia mengulurkan botol minumnya padaku, jadi sebelum menjawab, aku minum dulu biar gak seret pas curhat.

"Pertama, hubungannya masih baru, gue baru kenal sama dia, dan sejauh ini dia emang baik, baik banget dan sopan, gue gak akan mengelak hal itu."

"Terus?" Kami mulai jalan lagi, Saka di depan membuka jalan seperti tadi sementara aku hanya berjarak sehasta membuntuti di belakangnya.

"Iya, siapa tahu sikapnya bisa berubah kan? Tapi yang udah kentara jelas sih yaa.. dia bakal selalu belain adeknya. Capek gue punya hubungan yang... kalau gue berantem sama orang, pasangan gue gak belain gue. Gue kan harus punya back-up kan? Itu baru adeknya, gimana nanti sama orang tuanya?"

"Emmm, jadi lo bakal milih pasangan yang akan ngebelain lo apapun kondisinya? Misal lo ribut sama mertua lo, terus lo mau pasangan lo belain elo?"

"Iya dong!" Seruku.

"Durhaka gak tuh pasangan lo ke orang tuanya?"

"Emm, oke ganti, bukan belain gue tapi jadi penengah deh minimal. Soalnya kan ada tuh si Maudy temen kita pas kelas XI dia cerita batin banget karena sering disindir sama mertuanya, tapi suaminya gak ngapa-ngapain, malah nyuruh sabar dan gak negur orang tuanya. Malesin."

"Mungkin si suaminya ngeri durhaka." Ujar Saka.

"Emm, gak tahu sih yaa. Cuma di sudut pandang gue, kalau gue punya pasangan, gue bakal belain dia mati-matian sih, even gue harus ngelawan nyokap, gue bakal belain pasangan gue."

"Serius? Kenapa?" Tanya Saka tak percaya, ia bahkan sampai menoleh ke belakang.

"Karena pasangan gue itu hasil pilihan gue sendiri, gue harus mempertahankan apa yang gue pilih. Sedangkan nyokap? Gue gak pernah memilih dia jadi ibu gue kan? Tapi ya tetep, gue akan menghargai orang tua gue, senyebelin apapun dia. Jadi sebelum ada di proses ngelawan atau bakal sampai durhaka ke orang tua, gue akan jadi penengah antara orang tua gue dan pasangan gue, ngobrolin baik-baik, kalau itu gak bisa, yaudah... gue bakal belain pasangan gue apapun itu. Karena pada akhirnya, kita tuh kan idup berdua sama pasangan, bukan orang tua, bukan juga anak." Jelasku.

Melakoni MelankoliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang