Rev 7 : Lembar Baru

4.4K 508 330
                                    

"Vin, nggak usah gitu ngelihat gue!" Daren menatap malas ke arah Vino. Sejak selesai makan malam tadi, anak itu sudah berada di kamarnya. Duduk manis di ranjang sembari menatapnya mengerjakan tugas.

"Tugas lo ada nggak? Kalau ada kerjain di sini, gue bantu. Nggak ada berita besok lo kena hukum karena nggak ngerjain tugas!" ucap Daren lagi.

"Gue baru juga sekolah, Ren. Mana tahu ada tugas atau nggak. Nanti kalau gue di tanya guru, tinggal bilang, 'Maaf, Pak. Minggu lalu saya nggak sekolah. Jadi nggak tahu kalau ada tugas.' Gampang itu, Ren. Nggak usah pusing sama gue."

Daren hanya menggeleng. Merapikan peralatan sekolahnya, lalu berjalan menuju ranjang. Sebenarnya tak enak juga membiarkan Vino berlama-lama di sini. Takut akan membuat Ken salah sangka lagi seperti kemarin.

"Terus lo ngapain di sini?"

"Bertamu," sahut Vino. Pandangannya beralih pada lengan Daren. Anak itu memang tak mengatakan bagaimana sakitnya. Tapi Vino tahu bila gerak-gerik Daren menjadi terbatas. Ada sakit yang coba kakanya sembunyikan.

"Sakit nggak?" tanya Vino lagi. Namun dibalas gelengan oleh Daren. "Bohong! Sampai check up gitu masa iya nggak sakit."

"Sekarang gue tanya, kalau setiap lo check up, lo lagi sakit nggak? Namanya juga check up, bukan sekarat."

Vino mendengus kesal. Apa tidak bisa Daren bersikap manis tanpa membuatnya ingin bertindak durhaka pada kakak sendiri?

Hanya saja, memang ada rasa bersalah sudah membuat Daren sakit karena dirinya. Tapi, salahkan Daren juga karena tidak mau berterus terang. Pura-pura menyembunyikan sakit, dan bertingkah baik-baik saja.

"Gue nggak apa-apa, serius. Kata Dokter juga ini udah jauh membaik. Nggak lama pasti pulih sepenuhnya. Bahkan Dokter tadi ngasih gue standing applouse karena berhasil bawa mobil bolak balik. Keren nggak tuh? Kata beliau, kalau masa penyembuhan gini memang nggak disarankan buat beraktivitas berat. Tapi juga jangan dimanja. Kemarin sakit juga karena kecapean aja. Terlalu jauh, dan tangan gue belum siap," ucap Daren. Membuat Vino kembali mendongak, menatapnya.

"Ren... nggak usah bersikap baik-baik aja. Siapa juga tahu itu pasti sakit! Cukup lo di marah Ayah, dan lo nggak bilang gue. Lo nggak harus ngaku salah buat nutupin kesalahan gue."

Daren terdiam. Bisa-bisanya Ken menceritakan semua pada Vino. Iya, siapa lagi? Apa Ken benar mengibarkan bendera perang padanya? Padahal Ken tahu, bahwa ucapan Ayah kemarin jangan sampai diketahui Vino. Lagi pula Ayah hanya memperingati.

"Gue nggak nutupin kesalahan lo. Gue ikhlas, demi Tuhan, gue ikhlas. Lo mau ketemu Ibu, masa gue larang. Itu baru namanya gue salah." Daren berbalik, mencengkram pelan lengan Vino. "Ken nyalahin lo? Tenang, gue ada di pihak lo. Dia kayak gitu cuman karena iri. Lo lebih sering sama gue dibanding dia. Sekarang lo balik ke kamar lo. Istirahat, kalau memang nggak ada tugas. Sebelum itu, lo mampir ke kamar Ken. Bilang sama Kakak posesif lo, kalau mau saingan harus sportif. Jangan jatuhin gue di depan lo."

Perlu beberapa detik sebelum Vino paham. Lalu tersenyum. Mengangguk, sebelum akhirnya bangkit.

"Oke gue pamit. Jam bertamu di sini selesai. Gue ganti kamar dulu. Malam, Ren," ucap Vino sebelum berlalu.

Daren hanya terkekeh. Setidaknya dengan itu, Vino tidak terus mempertanyakan tangannya. Tidak terus merasa bersalah. Karena bagi Daren, bagaimana pun adiknya tidak salah. Bila letak kesalahan adalah menyetujui ajakan Vino, itu berati kesalahan pada dirinya.

Dia memang bukan Ken yang memiliki tempat terbaik dalam hidup Vino. Bukan Ken yang tahu segala hal tentang Vino, dan tahu apa yang harus dia lakukan untuk menjaga Vino. Tapi, tidak salah kan bila saat ini dia akan berusaha menjadi seperti Ken yang selama ini menyandang predikat Kakak terbaik di mata Vino.

Revino ✔️ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang