𝐋𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐚𝐤 𝐁𝐞𝐫𝐭𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠

1.1K 162 2
                                    

Tak terasa seminggu berlalu dengan cepat. Mawar melihat rombongan-rombongan kereta kuda mulai memasuki gerbang kediaman Maraina. Kereta-kereta kuda itu mengitari taman di halaman depan dan berhenti tepat di depan pintu utama –tempat di mana Baldur dulu memecahkan atap kaca bangunan. Untung perbaikan atap itu tidak memakan waktu lama.

Mawar menghitung dalam hati jumlah kereta kuda yang memasuki kediaman. Delapan totalnya. Dari delapan undangan yang Mawar kirim. Sepertinya semuanya memang penasaran dengan Duchess Maraina yang baru.

Diam-diam, Mawar memerhatikan seorang perempuan dengan gaun biru mekar turun dari sebuah kereta kuda berwarna putih. Perempuan itu menyanggul rambut pirangnya tinggi-tinggi, sebuah kipas berbulu di tangan kanannya, dan seekor anjing daschund di tangan kirinya. Mengikuti perempuan itu adalah seorang perempuan belia juga berambut pirang yang menggunakan gaun merah mudah nan imut.

Countess Belinda Rozar dan anaknya, Melissa.

Mengikuti kereta kuda Rozar, terdapat kereta kuda yang jauh lebih sederhana. Berwarna cokelat biasa meski menyandang emblem bangsawan. Seorang perempuan dengan rambut putih disanggul dan pakaian berwarna ungu turun perlahan. Perempuan itu menengadah ... seakan mencari sosok Mawar di balik jendela. Hanya dia satu-satunya tamu yang melakukan itu.

Countess Corina Morte. Seorang Ellyseria yang menikah dengan Count Morte dari Marina.

Kereta kuda Countess Corina adalah yang terakhir sebelum akhirnya pintu kamar Mawar diketuk pelan. "Duchess," panggil Lisa dari balik pintu.

Mawar berjalan pelan mengarah pada pintunya. Di tengah perjalanannya, ia sempat menoleh pada bayangan di kaca, memeriksa penampilannya. Ia mengenakan gaun merah darah, sebuah warna yang mencolok untuk sebuah perjamuan teh. Bagian dada dan lengannya berupa renda berwarna hitam dengan motif Mawar. Tanpa perhiasan maupun aksesoris rambut. Ia biarkan rambut hitam legamnya terurai di belakang.

Sebuah topeng masquarade berwarna merah dengan ulir-ulir berwarna emas menutupi setengah wajahnya. Bibirnya merona dengan pemulas bibir berwarna merah darah. Warna merah dan hitam memberikan kontras yang menawan dengan kulitnya yang putih.

Ia menghela napas panjang sekali. Kemudian akhirnya membuka pintu kamarnya. "Antarkan aku pada mereka, Lisa," katanya mantap. Lisa mengangguk dengan patuh.

Pada umumnya, perjamuan teh biasa dilakukan pada ruang tamu miliki seorang perempuan bangsawan. Namun, Mawar memutuskan untuk mengadakan perjamuan teh di taman kecil di sayap barat. Bukan taman di ruangan terbuka, melainkan sebuah rumah kaca kecil yang Mawar buat menggantikan dua kamar tamu berdebu. Seakan ingin menyatakan presensinya, Mawar menyuruh staf kediaman untuk menumbuhkan segala jenis mawar di rumah kaca itu. Ada yang berwarna putih, hitam, bahkan biru dan merah muda serta kuning. Dan tentunya, berwarna merah darah.

Mawar bertemu dengan Paul yang sudah menunggunya di depan pintu rumah kaca. Bocah itu berpakaian rapi dengan kemeja hitamnya. Rambut pirangnya tertata rapi ke belakang. Mata hijau bocah itu berbinar ketika melihat sosok Mawar.

Mawar menawarkan satu tangan padanya seakan bertanya, 'Siap?'

Paul langsung menyambar tangan itu dengan mantap.

Kemudian pintu terbuka sementara Adrian mengumumkan kehadiran mereka.

Bisikan-bisikan para perempuan itu langsung menjadi hening tatkala pemilik kediaman memasuki ruangan. Semua mata terarah pada Mawar dan Paul. Sebagai tata krama, semuanya menunggu sembari berdiri ketika Mawar dan Paul memasuki ruangan.

Terdapat dua meja di rumah kaca itu. Satu untuk para perempuan bangsawan dan satu lagi untuk para anak-anak yang mereka bawa. Baik Mawar dan Paul mengambil posisi di penghujung kedua meja. "Selamat siang," sapa Mawar kepada satu ruangan. "Terima kasih sudah memenuhi undangan kami untuk perjamuan teh ini. Silahkan duduk."

BalaWhere stories live. Discover now