13. Sang Phoenix

1 0 0
                                    

Sebuah bola api berputar-putar di tengah ruangan sebelum menghilang dan memunculkan seekor burung bewarna merah menyala dengan surai emas pada jambul dan ekornya. Setelahnya, dia terbang dan bertengger di atas meja. Senja datang dengan membawa nampan berisi teko teh beserta gelas kosong. Dia duduk dan menghiraukan burung di tengah-tengah meja itu.

"Apa yang membuatmu datang?" tanyanya seraya menuang teh dalam gelas.

Burung itu kembali mengepakkan sayap dan turun pada bangku yang ada di belakangnya. Perlahan, burung itu memudar dengan cahaya kemerahan. Seorang pemuda bersurai merah panjang duduk di kursi itu, menggantikan burung yang hilang entah ke mana.

"Hanya menyapa teman lama," jawabnya.

"Ini pertama kalinya kamu datang, Xavier."

"Kudengar, kamu membuka kedai teh. Kuputuskan untuk mampir."

"Benar, tapi aku tidak ingin dibayar dengan uang, tetapi dengan sebuah cerita," ucap Senja serius seraya menyeruput tehnya.

"Oleh karena itu aku datang."

***

Seorang gadis kecil bermain di taman dengan riang. Dia melempar bola pada teman laki-laki dan ditangkap olehnya. Aktivitas itu berulang kali dilakukan oleh mereka berdua sampai orang tua mereka datang menjemput.

Masing-masing orang tua itu membawa kedua anaknya beranjak dari taman bermain. Tempat mereka bermain bukanlah taman luas yang dikhususkan untuk bermain bagi anak-anak, melainkan taman di sebuah rumah sakit yang digunakan untuk menenangkan diri.

Kedua anak itu bukanlah datang untuk menjenguk, melainkan mereka yang dijenguk. Mereka adalah pasien rumah sakit itu. Terhitung sudah tiga bulan mereka bolak-balik ke rumah sakit, tetapi sampai sekarang pun, mereka belum juga bebas dari obat-obatan dan rasa sakit yang diderita.

"Bunda, Raya mau pulang," rengek gadis kecil itu.

"Raya belum boleh pulang, nanti, ya, setelah sembuh, Raya dan Bunda akan pulang ke rumah," balas sang bunda menenangkan gadis kecil bernama Raya itu.

"Kapan Raya akan sembuh, Bunda?" tanyanya lagi.

"Sebentar lagi, sebentar lagi Raya akan sembuh," balas sang bunda dengan mata berkaca-kaca. Dia berusaha menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh.

Raya menatap bundanya selama beberapa detik sebelum mengulas senyum. "Iya, Raya akan sembuh. Raya juga memiliki Ari di sini."

Bunda mengelus pelan puncak kepala Raya. "Bunda janji akan membawa Raya pulang," ucap sang bunda sebelum membawa Raya kembali ke kamarnya.

Raya berbaring di ranjangnya setelah meminum obat. Jujur, obat adalah hal yang paling tidak disukai Raya, tapi demi bundanya, dia harus menelan semua pil pahit itu dan bertahan di rumah sakit yang dipenuhi bau obat-obatan yang membuat pusing kepala.

Seekor burung hinggap di dahan pohon di samping ruangan di mana Raya berada. Dia dapat melihat pohon itu dengan jelas melalui jendela di sampingnya. Raya turun dari ranjangnya lalu meletakkan sebuah kursi di sana dan menaikinya. Dia membuka jendela itu. Terlihat jelas seekor burung besar bersurai merah dan emas bertengger pada dahan itu.

"Burungnya cantik," gumam Raya.

Selama ini, Raya tidak pernah melihat burung seperti itu. Ukurannya lebih besar dari yang lain, dan warnanya juga cantik.

Tangan Raya menggantung di udara, mencoba meraih burung itu. Namun, jaraknya pada burung itu terlalu jauh. Raya hanya bisa meredam keinginannya untuk menyentuh burung itu dalam angan.

"Yah, dia pergi." Raya berucap kecewa saat burung itu terbang menjauh.

Burung besar itu terbang dan hinggap pada dahan pohon lain. Perlahan, cahaya kemerahan muncul. Seorang pemuda bersurai merah panjang duduk bersandar pada dahan pohon itu.

"Hampir saja aku ketahuan," gumamnya sembari menghela napas lega.

Pemuda itu bergeming di tempatnya selama beberapa saat sebelum kembali berubah menjadi burung dan terbang entah ke mana.

Keesokan harinya, dia kembali lagi. Ya, burung itu selalu datang dan memperhatikan Raya dan Ari yang saat ini tengah mewarnai sebuah buku bergambar.

"Mereka anak-anak yang hebat. Bagaimana bisa rasa kesedihan itu tidak tergambar di wajah mereka?"

Burung itu kembali terbang meninggalkan mereka berdua. Mengamati dua anak itu membuatnya senang, sekaligus sedih. Dia tidak bisa membayangkan menjadi mereka yang harus menanggung sakit di umur yang masih sekecil itu.

Perubahan-perubahan terlihat jelas dari sejak pertama mereka berada di rumah sakit itu hingga sekarang. Awalnya mereka tidak nyaman berada di sana, terlebih dengan bau obat serta obat yang harus mereka konsumsi. Namun sekarang, bukan berarti mereka suka dan nyaman, tidak sama sekali. Mereka tidak bisa melakukan apa pun lagi selain menurut. Pada awalnya mereka sedih, tetapi mereka berhasil mengubah kesedihan serta rasa sakit yang diderita menjadi cambuk penyemangat.

"Raya, kata Ibu, Ari hari ini boleh pulang. Raya harus susul Ari pulang, ya, nanti kita main di rumah Ari," kata Ari.

"Iya," balas Raya dengan seulas senyum.

***

"Lalu, apa yang terjadi dengan Raya sekarang?" tanya Senja di akhir cerita Xavier.

"Seperti yang diketahui, Raya kalah dengan penyakitnya. Akan tetapi, aku salut sekaligus iri dengannya. Dia bisa merasakan bagaimana kematian itu."

"Kenapa harus iri dengan Raya?" Senja bertanya bingung.

"Tidak seperti dia atau yang lainnya, aku mati lalu lahir kembali."

"Itulah takdir dari sang phoenix, si burung api abadi."

"Aku penasaran, apakah sang phoenix akan terlahir kembali meski telah mati berulang kali? Kapan sang phoenix akan mati dan tidak akan terlahir kembali?"

🍃Selesai🍃

Kedai Teh Senja [KumCer] ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora