PROLOG

34 5 0
                                    

"Pak, mau kemana?" Ibu Citra bertanya dengan agak bingung saat melihat suaminya melangkah tergesa-gesa keluar rumah dengan membawa koper.

"Aku mau pergi." Jawab Ayah Citra singkat tanpa penjelasan apapun. "Dan setelah ini aku akan mengurus surat perceraian kita."

Ibu Citra terenyak saat Ayah Citra mengatakan 'surat cerai'. "Bapak nggak bisa ceraiin Ibu begitu saja! Kalau kita cerai, bagaimana Citra dan Amel, Pak?"

"Terserah, itu urusan kamu." Jawab Ayah Citra tanpa peduli.

Dengan mata basah, Ibu Citra menghardik. "Tega sekali kamu, Pak! Apa perempuan jalang itu udah membutakan mata hati kamu sehingga kamu nggak peduli lagi sama istri, atau paling nggak sama anak-anakmu?"

Ayah Citra meletakkan kopernya lalu menatap istrinya dengan garang. "Dia bukan perempuan jalang, Kasih! Yang jelas, dia lebih bisa membahagiakan aku daripada kamu!"

"Udahlah, Bu. Biarin Ayah pergi." Tiba-tiba Citra muncul dari kamarnya. Matanya merah dan sembap, pertanda bahwa Citra habis menangis dalam waktu lama. Dengan tegar dan suara yang dibuat setegas mungkin, Citra menambahkan. "Percuma Ibu ngomong sama Ayah. Telinga Ayah udah tuli. Hati dan otak Ayah juga udah buntu karena pesona simpanannya yang rendahan itu!" Katanya ketus.

"Citra! Ngomong apa kamu?!" Bentak ibunya.

"Tuh, Citra aja mengerti dan nggak melarang aku pergi. Sebaiknya kamu nggak usah cegah aku. Aku udah nggak cinta lagi sama kamu. Apapun yang terjadi, aku akan tetap menceraikan kamu."

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Ayah Citra sebelum pergi dari rumah. Meninggalkan luka hati bagi istri dan anak-anaknya. Mungkin setelah itu pria itu takkan pernah lagi menjejakkan kaki di rumah ini.

Ibu Citra menangis sejadi-jadinya, bersandar pada pintu rumah yang terbuka dan beringsut hingga terduduk di lantai. Citra segera menghampiri ibunya dan memeluk wanita yang paling disayanginya itu. Citra yang berusaha bertahan untuk tidak menangis demi ibunya, akhirnya menangis. Untunglah Amel—adik perempuan Citra yang baru berusia 8 tahun—tidak melihat kejadian menyedihkan ini.

Bagi Citra dan sisa keluarganya, inilah akhir dari kehancuran keluarganya. Waktu begitu cepat berganti dan berubah. Tahun lalu—baru tahun lalu—keluarga mereka baik-baik saja. Bahkan tampak seperti keluarga bahagia. Ayah Citra sangat sayang dan perhatian terhadap keluarganya. Keluarga inti mereka begitu harmonis dan bahagia. Momen yang paling Citra sukai dalam keluarganya adalah ketika ayahnya pulang kerja. Ketika deru mobil Ayah Citra terdengar, Citra dan Amel segera menyambutnya. Amel mengoceh dan bergelayut manja pada ayahnya, sementara Citra membawakan tas kerja ayahnya. Sementara di dapur, Ibu Citra menyiapkan makan malam dan kopi atau teh hangat. Setelah itu, mereka berkumpul di meja makan sambil berdiskusi kecil atau mengobrol ringan dan kadang kala bercanda. Keluarga mereka terasa hangat.

Lalu delapan bulan yang lalu, Ayah Citra mulai berubah. Beliau semakin tak peduli pada keluarganya. Sering berkutat dan menyembunyikan ponselnya atau pergi selama beberapa hari. Curiga dengan keanehan ayahnya, Citra dan ibunya mencoba menyelidiki, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Rupanya ada perempuan lain yang menggoda Ayah Citra. Setelah itu, sikap Ayah Citra menjadi semakin seenaknya dan menyebalkan. Hingga puncaknya, hari ini Ayah Citra meninggalkan dan menelantarkan istri dan anaknya tanpa tanggung jawab.

Dalam hatinya yang terluka, Citra bersumpah takkan pernah melupakan kejadian ini seumur hidupnya. Ayah kandung Citra akan menjadi orang yang paling dibenci Citra di dunia ini.

***

MirrorWhere stories live. Discover now