Tale 01 - Tragedi Halaman Belakang

3.5K 775 157
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Senioritas tahi kucing! Katanya, zaman sekarang kampus sudah jadi kawasan bebas senioritas. Nggak akan ada kasus perundungan berkedok ospek yang dilakukan para kakak tingkat. Namun nyatanya, mau parkir saja, harus lihat-lihat tempat dulu, kalau tidak mau jadi sasaran empuk para senior.

"Lo parkir di depan gudang, Nin?"

"Nyali lo gede juga ya, Nin."

"Gue nunggu lo di pintu keluar aja deh, Nin ... nggak berani gue ke depan gudang."

Aku menghela napas, mencengkeram erat tali tas yang terselempang di bahu. Aku harus menebalkan wajah, untuk mengambil sepeda motorku yang terparkir di depan gudang fakultas. Sebenarnya, tidak salah sih, parkir di sana. Tapi, ada peraturan tak tertulis, depan gudang adalah tempat parkir khusus anak band fakultas, yang didominasi kakak tingkat angkatan 2018 dan 2019.

Aku menatap gerombolan laki-laki yang berkumpul di teras gudang. Entah mengapa, bagiku mereka punya auara yang menakutkan. Celana jeans sobek-sobek, kemeja oversize yang yang tidak dikancingkan, rambut gondrong, kepulan asap rokok, dan suara genjrengan gitar, jadi ciri khas anak band Fakultas Sastra. Mereka memang penguasa arena itu. Ya, bagaimana tidak, ada ruang musik di sebelah gudang. Sambil menunduk, dengan langkah cepat aku menghampiri motorku, yang terparkir di sana. Suara gelak tawa mereka berhenti begitu aku menaiki motorku.

Jangan noleh, jangan noleh. Kataku dalam hati.

"Ada uang jatuh apa? Nunduk mulu."

Aku dengar seseorang berceletuk diiringi kekehan.

"Jurusan apa, Dek?"

Aku terlalu gugup untuk menjawab mereka, takut nanti jadi bahan ledekan. Tapi, kalau tidak menyahut, takut dicap adik tingkat sombong.

"S-sastra Inggris, Kak," jawabku sambil mencoba menekan tombol starter motor.

"Oh, Sastra Inggris ... adik tingkat lo nih, Dhis!"

Kenapa motornya nggak nyala-nyala, sih? Aku mulai panik karena motor yang menemaniku sejak SMA, ngadat. Jangan rewel, dong ....

"Jangan dipaksa atuh ... kasihan motornya."

"Jangan-jangan nggak ada bensinnya."

"Ada kok," cicitku mulai panik.

"Pakai manual coba."

Tapi, sayangnya aku tidak bisa menurunkan double standar. Aku mendongak dan tidak sengaja bertatapan dengan salah satu kakak tingkat berkemeja kotak-kotak biru putih yang tidak dikancing, dengan kaus abu tua sebagai dalaman. Mungkin, karena wajahku yang terlihat panik, atau terlalu memelas, membuatnya beranjak dan menghampiriku.

"Lo nggak bisa?" Aku menggeleng. "Jadi anak cewek jangan lemah."

Aku diam-diam mendumal, tapi enggan menyuarakan protes karena memang butuh bantuannya. Dengan enteng, cowok itu mencoba menyetater motorku. Setelah beberapa kali percobaan, suara deru mesin motor terdengar juga.

Our Magical Tale (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang