Tale 07 - Sisi Lain Yudhistira

2.2K 651 127
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Selepas kuliah, aku memilih singgah ke taman kampus, untuk melepas penat. Kejadian akhir-akhir ini membuat otak dan mentalku terbakar. Pusing sekali. Sepertinya menghabiskan waktu seorang diri, tanpa memikirkan Mas Yudhis dan segala masalahnya serta tugas kuliah sembari berbaring di rerumputan hijau di bawah siraman sinar senja dengan membaca tulisan-tulisan Pram sangat menyenangkan.

Aku duduk bersila bersandar pada pohon---tidak jadi berbaring karena takut ketiduran---dengan buku berisi cerbung yang kutulis bersama puisi Pram di pangkuan. Aku menulis ulang cerbung yang kukirim pada Pram hampir setiap minggu lewat surat, ke buku ini. Bukan ke laptop atau komputer. Entahlah, aku merasa lebih aman menyimpan kisah Cacha dan Pram di sini, karena tidak akan ada orang yang bisa menyentuhnya.

Dear Pram,

Pram, sebenernya aku suka banget nulis cerita. Dan baca puisi-puisimu, bikin aku terinspirasi. Gimana kalo kita kolaborasi? Aku bikin cerpen/cerbung, dan masukkin puisimu ke dalamnya.

Setuju nggak Pram? Setuju, ya? Nanti aku kirim cerita-cerita itu ke kamu.

Xoxo,
Cacha.

Tiga hari kemudian, surat balasan pun datang. Senyum terus mengembang di wajahku karena tidak menyangka Pram juga antusias dengan gagasan yang kumiliki.

Dear Cacha,

Boleh banget. I love to read your story. Sebenernya nggak ada orang yang tau kalau aku suka nulis puisi. Aku simpen sendiri. Kadang aku kirim ke website atau majalah tapi pake nama samaran.

Oke, jadi kamu bakal bikin cerita pake puisi-puisi yang udah pernah kukirim, atau aku harus bikin puisi baru sesuai sama cerita yang kamu tulis?

Dari Pram,
yang nggak sabar jadi penulis bareng Cacha.

Senyuman itu kembali tersemat di bibir selagi aku mengusap sampul buku dengan judul Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram. Aku membaca lembar demi lembar sampai tak sadar pandanganku memburam. Sialan. Aku menangis lagi. Aku buru-buru mengusap mata dengan lengan baju karena tak ingin ada yang melihatnya.

Aku bahagia kok. Hanya saja terlalu rindu.

Rindu suaranya.

Rindu puisinya.

Rindu segala hal tentangnya.

Aku jadi penasaran, apa Pram merasakan hal yang sama?

Aku menghela napas, berusaha mengusir pikiran konyol yang menghinggapi. Jangan konyol lah, Nin. Pram itu dua tahun lebih tua dari kamu. Pasti dia udah punya pacar, lah. Tapi, kalau pun benar, apa aku berhak marah? Sepertinya tidak.

Our Magical Tale (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang